Fiqih Mawaris


FIQH MAWARIS
Resume
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri
Mata Kuliah Fiqh Mawaris Jurusan Hukum Pidana Islam
Semester IV (Empat)









Disusun Oleh :
Neneng Fitria Nurhasanah (208 301 280)





Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
2010
FIQIH MAWARIS
A.     Definisi Ilmu Waris
Ilmu mawaris dalam Islam merupakan bagian dari pembidangan ilmu kekeluargaan atau akhwal as-Syakhsyiyah. A. Djazuli (2006:48) menjelaskan bahwa mawaris mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa saja yang berhak terhadap warisan, bagaimana cara pembagiannya masing- masing. Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh, karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli waris.
Kata waris berasal dari kata ‘waratsa’ yang artinya mewarisi. Secara istilah, Prof Hasby as-siddiqy mengemukakan bahwa ilmu waris adalah ilmu yang diketahui dengannya siapa yang menerima waris dan tidak menerima waris dan kadar bagi setiap ahli waris dan cara pembagiannya.
Harta peninggalan disebut dengan tarikah adalah apa yang ditinggalkan oleh mayit baik berupa harta benda atau hak tirkah berupa hak, misalnya : hak untuk menarik hasil dari sebuah sumber air minum suatu perkebunan dan sebagainya.[1]
Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sedang ilmu faraidh diartikan oleh sebagian faradhiyun sebagai:
“Ilmu fiqh yang berpautan dengan harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.”[2]
Ilmu faraidh secara bahasa berasal dari kata ‘Faradha’ yang bentuk jama’nya adalah ‘Faraidha’ yang artinya bagian yang telah ditentukan. Fatchur Rahman (1975:31) menyebutkan bahwa menurut para ulama lafadz faraidh diartikan sema’na dengan mafrudhah yaitu bagian yang telah ditentukan. Beliau menjelaskan bahwa diartikan demikian karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan kadarnya. Secara istilah adalah ilmu yang memahami waris dan ilmu hitung, yang dengannya dapat diketahui bagian-bagian bagi setiap orang yang berhak menerima dari harta peninggalan. Dedeng Rosyidin (2003:1) menjelaskan bahwa ilmu faraidh adalah ilmu yang memahami waris dan ilmu hitung, dengannya dapat mengetahui bagian bagi setiap orang yang berhak menerima waris dari harta peninggalan.
Adapun wujud dari harta warisan itu sendiri R. Wirjono Prodjodikoro (1995:15) mengatakan bahwa wujud harta warisan adalah apa yang pada hakikatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang- barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peniggal warisan. Dengan demikian, harta peninggalan atau tirkah dari si mati adalah sisa dari harta si mati yang telah dikurangi dengan biaya perawatan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, dan telah dibayarkan hutang-hutangnya. Dalam penggunaan harta si mati ini tidak boleh berlebihan dan diada-adakan. Kemudian dalam pengurusan pembayaran tersebut menjadi kewajiban bagi ahli waris, hal ini seperti yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan Pasal 175 (1) huruf b dan Pasal 175 (2), yang isinya:
“Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang”
“Tanggungjawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.”
Keterangan tersebut bersummber dari aturan Allah dalam Firman-Nya:
“….(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat baginmu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisaa [4]:11)
B.     Asas-asas Fiqh Mawaris
Asas berarti dasar mengapa seseorang mendapat hak kewarisan dari pewrisnya. Dalam hukum waris Islam, terdapat lima asas, antara lain;
1.      Asas Ijbari
Pembagian warisan berasaskan paksaan dimana ia bukanlah merupakan kehendak bagi pewaris dan ahli waris. Waris dalam hukum Islam telah diatur secara khusus dengan aturan Allah dalam al-Quran. Sehingga pembagiannya dan besar bagiannya telah diatur dan tidak menjadi kehendak ahli waris dan pewaris.
2.      Asas Bilateral
Berbeda dengan hukum adat yang mengenal sistem waris berdasarkan garis ayah dan garis ibu, dan kekerabatan dari pihak masing-masing. Ketentuan ini sesuai pula dengan Firman Allah swt dalam Surat an-Nisaa [4]:7. sebagaimana berikut:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditentukan. ”
3.      Asas Individual
Asas individual artinya bagian waris harus dimiliki oleh ahli waris masing-masing berbeda dan tidak terikat dengan yang lain.
4.      Asas Keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang adalah bahwa pembagian waris harus adil. Adil dalam arti sesuai pada porsinya sebagaimana dikatakan dalam Firman Allah:
“…Bagi laki-laki seperti dua bagian anak perempuan….” (an-Nisaa [2]: 11)
Dengan kata lain jika perempuan mendapat satu juta, maka bagian laki-laki adalah dua kali lipatnya atau senilai 2 juta.
5.      Asas Kematian
Tidak akan disebut pembagian waris dan tidak ada waris- mewarisi sebelum adanya kematian. Oleh sebab itu, jika pembagian harta dibagikan sebelum pewaris mati, maka yang demikian bukan termasuk warisan melainkan hibah.
C.     Sumber Hukum Fiqh Mawaris
1) Sumber Hukum Waris Furudh Muqadarah
Sebagaimana bidang-bidang ilmu dalam Islam, seluruhnya tidak akan terlepas dari sumber-sumber Hukum Islam yaitu al-Quran dan Hadits. Ilmu waris Islam pun tak lepas  dari kedua pedoman  Islam yang menjadi sumber ilmu waris tersebut. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang cara pembagian waris, dzawil furud (ahli waris) dan furudh muqadarah (bagian yang telah ditentukan).
Allah swt berfirman:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditentukan.” (an-Nisaa [4]:7)
sayat tersebut memberi penjelasan bahwa hak waris seseorang jatuh berdasarkan hubungan antara anak dan orang tua atau antara si mati dan kerabat-kerabat terdekatnya. Ahli waris dari pihak laki-laki ada 15 orang dan dari pihak perempuan ada 10 orang. Kemudian, Allah berfiman dalam ayat selanjutnya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seper enam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempuyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempinyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seper enam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat baginmu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisaa [4]:11)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang dtinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seper empat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seper delapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudari perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seper enam harta. Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian seper tiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris).(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar danri Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”(an-Nisaa [4]:12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu satu perdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisaa [4]:176)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang bagian-bagian yang akan diterima oleh ahli waris, beserta tata cara pembagian harta waris. Pada ayat 12 surat an-Nisaa dijelaskan tentang wujud harta warisan dan kewajiban bagi ahli waris yang ditinggalkan dalam memenuhi wasiat yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Selain al-Quran sebagai sumber hukum ilmu waris yang pertama, selanjutnya sumber hukum ilmu waris adalah Hadits dan Ijma’ dan Ijtihad. Hadit Rasulullah dalam hal waris adalah sebagai berikut:
“Nabi Muhammad saw. Bersabda: berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki yang utama.” (Bukhori-Muslim)
sumber yang ketiga adalah Ijma’ dan Ijtihad. Ijma dan ijtihad para sahabat mempunyai peranan yang besar dalam pemecahan masalah waris. Sebagai contoh saya ambil ijtihad Umar ibn Khattab ketika mengahdapi permasalahan waris. Pada permasalahan tersebut, ahli waris antara lain, pertama, ayah, ibu, dan suami da kedua, ayah, ibu dan istri.
Menurut Ibn Abbas, ibu mendapatkan seper tiga dari harta yang ditinggalkan, oleh karena itu dalam pandangannya, maka bagian masing-masing adalah:
            Asal masalah = 6
(a)    Suami     ½ ; ½ x 6 = 3
(b)   Ibu         1/3 ; 1/3 x 6 = 2
(c)    Ayah     ‘ashobah  = 1
Asal masalah = 12
(a)    Istri ¼; ¼ x 12 =3
(b)   Ibu 1/3; 1/3 x 12 =5
(c)    Ayah ‘ashobah = 5
Pembagian tersebut menurut Ibn Abbas didasarkan pada surat an-Nisaa [4]:11 yang menyatakan bahwa bagian ibu bersama ayah adalah 1/3 apabila yang mati mempunyai anak. Pada permasalahan di atas, masalah yang pertama bagian ibu lebih besar dari ayah, dan masalah kedua, bagian ibu hampir sama dengan bagian ayah.
Umar dan shahabat lainnya berpendapat bahwa dalam dua masalah tersebut, ibu memperoleh sepertiga dari harta sisa (tsuluts al-baqiy) setelah dikurangi oleh suami. Umar mempertahankan pendapatnya berdasarkan surat an-Nisaa [4]:11 yang menyatakan bahwa bagian seorang laki-laki adalah sama dengan bagian dua orang perempuan. Oleh sebab itu seperti apapun posisinya bagian perempuan tidak boleh lebih besar dari bagian laki-laki. Dengan demikian pembagian tersebut menurut Umar adalah sebagai berikut:
            Asal masalah = 6
(a) Suami     ½ ; ½ x 6 = 3
(b) Ibu          1/3 (sisa); 1/3 x (6-3) = 1
(c) Ayah     ‘ashobah  = 2
Asal masalah = 4
(A) Istri ¼; ¼ x 4 =1
(B) Ibu 1/3 (sisa); 1/3 x (4-1) =1
(C) Ayah ‘ashobah = 2[3]
2) Sumber Hukum Wasiat
Ahli waris berkewajiban menunaikan seluruh wasiat orang yang meninggal, jika pewaris atau orang yang meninggal meninggalkan wasiat. Rasulullah saw bersabda”
“Tidak ada suatu kewajiban seorang muslim yang sampai bermalam dua malam, padahal dia mempunyai sesuatu yang hendak diwashiatkannya, melainkan wasiat itu hendaklah tertulis dikepalanya.”[4]
 Allah swt berfirman mengenai kewajiban berwasiat:
“Diwajibkan atas kamu berwasiat apabila kematian itu sudah datang kepada seorang diantara kamu, jika ia meninggalkan harta yang banyak. (al-Baqarah [2]:180)
Ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib, dengan dalil ayat tersebut. Sedang menurut jumhur, wasiat hukumnya sunat, bukan wajib. Oleh karena ayat di atas dikatakan mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat waris.[5]
Adapun ketentuan jumlah wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta, adalah berdasarkan Hadist berikut:
“….Sepertiga, dan (sekali lagi) sepertiga itu sudah cukup banyak atau sudah cukup besar, karena sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli warismu itu dalam keadaan cukup atau kaya akan lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka itu dalam keadaan kekurangan yang selalu menadahkan tangan kepada orang lain.” (H.R Jama’ah)[6]
Perkataan sepertiga harta menunjukkan bahwa lebih baik pemberian wasiat tidak lebih dari sepertiga dan lebih baik kurang dari itu. Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari: Ijma’ sudah menetapkan tentang dilarangnya wasiat lebih dari sepertiga, tetapi masih diperdebatkan tentang seorang (kaya) yang tidak mempunyai ahli waris tertentu. Jumhur berpendapat tetap dilarang wasiat lebih dari sepertiga. Sedang ulama Hanafiyah, Ishak, Syarik dan Imam Ahmad sendiri dalam satu riwayat berpendapat boleh lebih dari sepertiga. Yang berpendapat demikian ialah ‘Ali, Ibn Mas’ud, dan ulama ahlul bait.[7]
Para Ulama juga memperselisihkan tentang kebolehan pemberian wasiat terhadap ahli waris. Ibn Hazm dan Ulama Malikiyah tidak membolehkan hal tersebut, sedangkan Syafi’iyah berpendapat bahwa wasiat pada ahli waris itu sah apabila telah mendapat izin dari ahli waris yang lainnya. Pendapat ini berdasarkan pada Sabda Nabi saw:
“Tidak ada hak menerima wasiat bagi orang yang menerima pusaka, kecuali para ahli waris memperbolehkannya.” (H.R Daru Quthny)[8]
D.    Hubungan Fiqh Mawaris dengan Hukum Nasional
1) Pengertian Hukum Waris KUH Perdata dan Islam
Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata, yang merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Pengertian hukum “waris” di Indonesia sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman. Misalnya, Wirdjono Prodjodikoro , mempergunakan istilah hukum ‘warisan’. Hazairin, mengemukakan istilah hukum ‘kewarisan’ dan Soepomo mengemukakan istilah ‘hukum waris’.[9]
Wirdjono Prodjodikoro sebagai mana dikuti dalam bukunya Eman Suparman (1995:3) bahwa warisan adalah soal apakah dan bagaimana berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang yang masih hidup.
Eman Suparman (1995:21) mengemukakan hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara merekadan mereka, maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.
Para ahli hukum perdata barat mengemukakan pendapat mereka tentang ilmu waris. menurut Vollmar “Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan sutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan wajib-wajib, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.”[10]
Dalam sistem hukum Nasional atau Burgerlijk wetboek hukum waris diatur dalam KUHPdt, yang dimulai dari pasal 300 KUHPdt sampai Pasal 1130 KUHPdt. Disamping itu hukum waris Nasional diatu pula dalam Inpress Nomor 1 Tahun 1991 yang berbunyi: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian bagi masing-masing”
Salim HS (2002:138) menyempurnakan beberapa pendapat ahli hukum barat dengan menjelaskan bahwa hukum waris adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima, serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.
Ketentuan waris dalam KUHPdt berbeda dalam ketentuannya dengan hukum waris Islam. Dalam hukum waris Islam, pembagian didasarkan pada sebab pernikahan, nasab, dan orang yang memerdekakan. Dan anak angkat dalam Islam tidak mendapat hak waris yang ditentukan kecuali wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 bagian. Dalam KUHPdt pembagian waris disebabkan atas hubungan darah dan perkawinan.berbeda dengan hukum Islam, KUHPdt membedakan bagian antara anak hasil zina dan  anak angkat. Keduanya mendapat hak waris sesuai yang diatur dalam Pasal 862 sampai Pasal 871 KUHPdt.
Berdasarkan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, beberapa aturan hukum Islam di unifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut masalah kewarisan terdapat pada Buku II. Oleh sebab itu, hubungan antara hukum waris Islam dan Hukum Nasional adalah bahwa di dalam Hukum Nasional diatur pula aturan yang mengenai pembagian-pembagian waris berdasarkan pada hukum Islam.

2) Pembagian ahli Waris dalam KUH Perdata dan Hukum Islam

Dalam KUH Perdata, orang yang berhak menerima warisan dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1.      Ditentukan Undang-undang
2.      Wasiat
Ahli waris yang telah ditentukan undang-undang adalah yangtelah diatur dalam Pasal 832 KUH Perdata dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Pasal 832 KUH Perdata berbunyi:
“Menurut undang- undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama. Semua menurut peraturan tertera di bawah ini.
Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah maupun si yang hidup terlama diantara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik Negara, yang mana berwajb akan melunasi segala hutangnya, sekadar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu”
Berdasarkan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris yang ditentukan undang-undang adalah:
  1. Para keluagra sedarah, baik sah maupun luar kawin
  2. suami istri yang hidup terlama.
Ahli waris berdasarkan hubungan darah ditegaskan kembali dalam Pasal 852 KUH Perdata. Ahli waris karena hubungan darah ini adalah anak atau sekalian keturunan mereka, baik anak sah maupun anak luar kawin. Pitlo, berdasarkan interpretasinya membagi ahli waris menurut UU menjadi empat golongan, yaitu:
1. Golongan pertama, terdiri dari suami istri dan keturunannya.
2. Golongan kedua, orang tua, saudara dan keturunan saudara.
3. Golongan ketiga, terdiri dari leluhur dan lain-lainnya.
4. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam.
Apabila golongan pertama masih ada, maka golongan selanjutnya tidak mendapat apa-apa dari harta pewaris.
Sedangkan dalam hukum Islam, sebab menerima waris dibedakan menjadi tiga1, yaitu:
1. Hubungan perkawinan
2. Memerdekakan hamba sahaya
3. keturunan
ahli waris dari golongan darah dibedakan menjadi dua antara ahli waris dari laki-laki dan perempuan. Ahli waris dari laki-laki ada 15, yaitu:
1)      anak laki-laki
2)      cucu laki-laki dari anak laki-laki
3)      Bapak
4)      Kakek dari bapak, hingga ke atas
5)      Saudara laki-laki sekandung
6)      Saudara laki-laki sebapak
7)      Saudara laki-laki seibu
8)      Anak laki-laki dari saudara sekandung
9)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10)   Paman sekandung
11)  paman sebapak
12)  anak laki-laki dari paman sebapak
13)  anak laki-laki dari paman sekandung
14)  suami
15)  yang memerdekakan hamba sahaya
sedangkan ahli waris dari perempuan antara lain;
1)      anak perempuan
2)      cucu perempuan dari anak laki-laki
3)      ibu
4)      nenek dari bapak
5)      nenek dari ibu
6)      saudari sekandung
7)      saudari sebapak
8)      saudari seibu
9)      istri
10)  perempuan yang memerdekakan hamba sahaya
Pembagian di atas disimpulkan dalam kompilasi hukum Islam atau yang disebut Inpres Nomor 1 Tahun 1991. dalam Pasal 174 Inpres tersebut ahli waris dibedakan menjadi dua, yaitu yang berdasarkan keturunan dan perkawinan. Inpres menyebutkan golongan ahli waris dari laki-laki adalah sebagai berikut:
1)      ayah
2)      anak laki-laki saudara laki-laki
3)      paman
4)      kakek
sedangkan dari pihak perempuan adalah sebagai berikut:
1)      ibu
2)      anak perempuan
3)      saudaa perempuan
4)      nenek
kemudian ahli waris karena hubungan perkawinan adalah mereka yang timbul karena adanya hubungan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris. Namun, sebelum waris dibagikan, maka terlebih dahulu ahli waris harus menuntaskan kewajibannya. Kewajiban ahli waris tersebut adalah:
1)      Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
2)      Menyelesaikan kewajiban yang berkaitan dengan utang-piutang pewaris.
3)      Menyelesaikan wasiat.
4)      Membagikan harta warisan diantara ahli waris yang berhak secara adil.
Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang menerima warisan, karena adanya wasiat (testamen) dari pewaris kepada ahli waris, yang dituangkannya dalam surat wasiat. Hal ini diatur pula dalam KUH Perdata dalam Pasal 875.

3) Bagian Waris dalam KUH Perdata

Prinsip KUH Perdata dan Hukum Islam adalah sama-sama menganut bahwa warisan baru bisa dibagikan setelah pewaris meninggal. Adapun bagian yang diberikan kepada ahli waris dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1)   Bagian keturunan dan suami istri (Pasal 852 KUH Perdata)
Dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang pertama dipanggil Undang-undang untuk menerima waris adalah anak-anak dan suami atau istri. Bagian mereka adalah sama besar satu sama lain. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan maupun siapa yang lahir duluan atau belakangan.
2)  Bagian Bapak, ibu, saudara laki-laki, dan saudara perempuan (Pasal 854-856 KUH Perdata)
Apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun istri atau suami, sedangkan bapak ibunya masih hidup, maka bagian bapak dan ibu adalah 1/3 bagian dari warisan. Sedangkan saudara laki-laki dan perempuan mendapat 1/3 bagian. Dalam Pasal 855 KUH Perdata menyebutkan bagian dari bapak atau ibu yang hidup terlama. Bagian mereka tergantung dari kuantitas saudara laki-laki atau saudara perempuan dari pewaris.
1)      Apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian bapak dan ibu yang hidup terlama adalah ½ bagian.
2)      Apabila pewaris meninggalkan dua saudara laki-laki dan perempuan, maka yang menjadi hak dari bapak dan ibu ynag hidup terlama adalah 1/3 bagian.
3)      Apabila pewaris meninggalkan lebih dari dua orang saudara laki-laki dan paerempuan, maka bagian bapak dan ibu yang hidup terlama adalah ¼ bagian.
Sisa dari warisan menjadi hak bagi saudara laki-laki dan perempuan dari pewaris yang besarnya dibagi sama rata.
3)   Bagian anak Luar kawin (Pasal 862-871 KUH Perdata)
Bagian anak luar kawin yang diakui sahdiatur dalam Pasal 862 KUH Perdata:
  • Jika pewaris meningalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka bagian anak luar kawin adalah 1/3 bagian.
  • Apabila pewaris meninggalkan keturunan maupun suami/istri akan tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan sederajat dalam garis lurus ke atas, maka anak luar kawin mendapat ½ bagian.
  • Jika pewaris hanya meninggalkan anak saudara dalam sederajat yang lebih jauh, maka bagian anak luar kawin adalah ¼ bagian.
  • Jika pewaris tidak meninggalkan pewaris lainnya, maka anak luar kawin mendapat seluruh bagian.
  • Jika salah seorang keluarga sedarah tersebut meninggal dunia dengan tidak meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang mengizinkan pewarisan maupun suami atau istri yang hidup terlama, maka anak luar kawin berhak menuntut seluruh warisan dengan mengesampingkan negara.
4)  Anak Zina (Pasal 867 KUH Perdata)
Pada dasarnya anak zina mendapatkan warisan dari pewaris, tetapi anak tiri yang berhak mendapatkan nafkah seperlunya. Nafkah diatur selaras dengan kemampuan bapak atau ibunya, dan dikaitkan dengan jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah.
Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional adalah bahwa dalam sistem kewarisan Nasional telah diatur pembagian-pembagian waris untuk kalangan muslim.
E.     Sebab-sebab Hubungan Kewarisan
Sebab-sebab hubungan kewarisan pada zaman Jahiliyah ada tiga, yaitu:
1.      Kekerabatan
2.      Sumpah Setia
3.      Pengangkatan anak.
Dasar kewarisan pada masa tersebut adalah hukum-hukum leluhur atau nenek moyang mereka, dan yang mendapat waris hanya garis keturunan anak laki-laki saja, tidak termasuk wanita dan anak kecil. Bahkan pada masa tersebut wanita bisa diwariskan.
Sebab yang pertama adalah kekerabatan, yang diturunkan kepada garis laki-laki saja. Sebag yang kedua adalah sumpah setia, jika dua orang saling bersumpah satu sama lain dengan mengucap kata sumpah, maka terjalinlah sebab hubungan kewarisan antara keduanya. Misalnya, seorang berkata “Darahku adalah darahmu”, maka terjalinlah hubungan sebab-akibat kewarisan diantara mereka. Yang ketiga, pengangkatan anak. Anak angkat mendapat waris sebagaimana anak kandung.
Awal kedatangan Islamdi tanah Arab membawa banyak perubahan terhadap sistem kewarisan, khususnya bagi masyarakat penganut Islam. Sebab  hubungan kewarisan pada masa tersebut antara lain:
1.      Hubungan nasab
2.      Pengangkatan anak
3.      Hijrah dari Mekah ke Madinah
4.      Persaudaraan Muhajirin dan Anshar
Hubungan kewarisan berdasarkan pengangkatan anak berakhir setelah datangnya surat al-Ahdzab ayat 4-5, yang berbunyi:
“…. Dan Tuhanmu tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Sedang Allah itu mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka dengan memakai nama ayah-ayahnya (yang sebenarnya). Sebag yang ddemikian itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui ayahnya, maka (panggilah mereka sebagai memanggil) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula (orang-orang yang berada di bawah pemeliharaan)mu.” (al-Ahdzab [33]:4-5)
selan pengangkatan anak, yang selanjutnya adalah hijrah. Sebab kekuatan muslim pada saat itu masih sangat lemah, oleh sebab itu agar lebih memperkuat persaudaraan satu sama lain, maka satu sama lain antara muhajirin dan anshar boleh saling mewarisi. Sedangkan keluarga yang enggan ikut hijrah bersama kaum muhajirin, atau mereka yang ditinggal di Mekah  tidak mendapat hak waris. Hijrah sebagai sebab Kewarisan dibenarkan dalam Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad pada jalan Allah dengan harta dan jiwanya dan orang-orang yang melindungi serta menolong, mereka mereka itu sebagiannya menjadi wali bagi yang lain. Sedang orang-orang yang beriman tetapi enggan berhijrah, tak ada kewajiban sedikitpun bagimu mewalikan mereka, sebelum mereka berhijrah.” (al-anfal [8]:72)
Mempusakai sebagaimana yang diakatakan Fatchur Rahman (1975:113) berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Sebab-sebab waris-mewarisi dalam Islam ada tiga, antara lain:
  1. Perkawinan
Baik suami atau istri adalah teman hidup yang senantiasa berjuang bersama-sama dalam mengarungi bahtera kehidupan. Oleh sebab itulah mereka suami atau istri yang dalam perkawinan yang sah tidak dapat terhijab oleh ahli waris manapun. Paling tidak hanya terhijab nuqshan atau bagiannya berkurang sedikit oleh ahli waris yang lain.
Dalam hal perkawinan ini memerlukan dua syarat, yaitu:
1.      Akad perkawinan harus sah sesuai dengan syari’at
2.      Ikatan perkawinan masih utuh atau dianggap masih utuh
  1. Kekerabatan
Kekerabatan adalah garis keturunan dengan si mati. Ada tiga macam garis kekerabatan,[11] yakni:
    1. Furu’, anak turun (cabang) dari yang mati
    2. Ushul, leluhur pokok yang menyebabkan adanya si mati
    3. Hawasyi, keluarga yang dihubungakan melalui garis menyamping
  1. Wala’
Adalah orang yang dimerdekakan yang menjadi kerabat karenanya, dan kerabat yang menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia.
Dengan dimerdekakannya hamba, pemilik telah menggugurkan haknya dalam memelihara harta budaknya. Maka jika budak telah merdeka ia telah dianggap cakap dalam bertindak. Sebagai imbalan kerana telah menjalankan anjuran syari’at atas budaknya, syari’at memberikan hak wala’ atasnya.[12] Sabda Rasulullah:
“Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak(nya).” (H.R Bukhary-Muslim)
“Wala’ itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual atau dihibahkan.” (H.R. al-Hakim)
F.      Penghalang Kewarisan
Penghalang yang dimaksud dalam waris adalah tindakan yang dapat mengugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta adanya sebab-sebab dan syarat mempusakai.[13] Keadaan demikian dapat menggugurkan hak seseorang dalam mendapatkan warisan sekalipun ia memiliki sebab yang sah untuk menerima waris. Hal-hal yang menghalangi waris-mewarisi antara lain;
1.      Perbudakan
Budak dianggap tidak cakap dalam menguasai hartanya maupun dalam segala bidang, sehingga menjadi penghalang baginya dalam menerima waris.Allah swt berfiman:
“Allah telah membuat perumpamaan, (yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun……..” (an-Nahl [16]:75)
terhalangnya budak dalam waris-mewarisi dapat ditinjau dari:[14]
    1. Mewarisi harta peninggalan ahli warisnya
Seorang budak dianggap tidak cakap dalam menerima waris dari ahlinya, karena apabila ia menerima harta, harta itu akan jatuh ke tangan tuan yang memilikinya. Selain itu hubungan kekerabatannya juga telah putus karena ia telah menjadi asing, bukan bagian dari keluarganya. Sedangkan mewariskan kepada orang asing itu batal hukumnya.
    1. Mewariskan harta peninggalan dirinya.
Budak dianggap tidak dapat mewariskan hartanya, seandainya ia memiliki harta peninggalan, karena ia dianggap melarat dan tidak mempunyai harta peninggalan apa pun.
2.      Pembunuhan
Diantara dasar hukum terhalangnya hak mewarisi karena membunuh, yaitu:
“Barangsiapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mempusakainya, walaupun si korban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan.”[15]  (H.R. Ahmad)
Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis pembunuhan yang dapat menghalangi hak mewarisi. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa segala jenis pembunuhan dapat menghalangi hak mewarisi. Sedangkan ulama Hanfiyah membagi pada empat[16] bagian dan empat bagian yang tidak menghalangi hak mewarisi. Pembunuhan yang dapat menghalangi hak mewarisi antara lain:
a.       Pembunuhan sengaja
b.      Pembunuhan mirip sengaja
c.       Pembunuhan karena silap[17]
d.      Pembunuhan dianggap silap[18]
Sedangkan pembunuhan yang tidak menghalangi hak mewarisi antara lain:
a.       Pembunuhan tak langsung
b.      Pembunuhan karena hak[19]
c.       Pembunuhan yang dilakukan oleh ghair mukallaf
d.      Pembunuhan karena udzur.
Ulama Malikiyah membagi tiga pembunuhan yang dapat menghalangi hak mewarisi, serta empat pembunuhan yang tidak menjadi penghalang. Pembunuhan yang dapat menjadi penghalang antara lai:
a.       Pembunuhan sengaja
b.      Pembunuhan mirip sengaja
c.       Pembunuhan tak langsung
Pembunuhan yang tidak menjadi penghalang:
a.       Pembunuhan karena silap
b.      Pembunuhan dianggap silap
c.       Pembunuhan yang dilakukan oleh ghair mukallaf
d.      Pembunuhan karena udzur[20]
Dan Ulama Hanabilah menyebutkan enam pembunuhan yang dapat menjadi penghalang, dan dua yang tidak menjadi penghalang. Pembunuhan yang dapat menjadi penghalang versi Hanabilah, antara lain:
a.       pembunuhan sengaja
b.      pembunuhan mirip sengaja
c.       pembunuhan karena silap
d.      pembunuhan dianggap silap
e.       pembunuhan tak langsung
f.        pembunuhan yang dilakukan oleh ghair mukallaf
dan pembunuhan yang tidak dapat menjadi penghalang, adalah:
a.       Pembunuhan karena hak
b.      Pembunuhan karena udzur[21]
3.      Berbeda agama
Berlainan agama yang dimaksud adalah apabila pewaris beragama kafir dan yang ahli waris beragama Islam atau sebaliknya, maka keduanya tidak ada hak saling mewarisi. Dasar hukum dalam hal ini adalah:
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.”[22] (Muttafaq ‘alaih)
4.      Berbeda Negara
Berbeda agama yang dapat menghalangi hak waris-mewarisi adalah antara negara Islam dan negara Non Islam. Berbeda negara antar orang-orang non muslim menurut jumhur tidak menjadi penghalang dalam hal mewarisi.[23] Sedangkan menurut Imam Hanafii dan Ulama Hanabilah, hal tersebut menjadi penghalang karena terputusnya ishmah dan tidak adanya hubungan perwalian.
Berbeda negara antar orang Islam, para Ulama sepakat bahwa dalam hal ini tidak menjadi penghalang dalam hal waris, karena negara-negara Islam itu dianggap satu kesatuan. Karena kedua negara tersebut menjalankan prinsip hukum yang sama.
Imam Syafi’I mengklasifikasikan orang-orang yang tidak berhak menerima waris kepada tujuh,[24] yaitu:
1.   Budak,
2.   Budak al Muallaq (budak yang hanya akan merdeka jika tuannya meninggal),
3.      Ummul Walad, yaitu budak wanita yang digauli tuannya hingga melahirkan anak dari hubungan tersebut,
4.      Al-Mukatab,yaitu budak yang membuat perjanjian dengan tuannya, apabila ia memberi sejumlah uang pada tuannya, maka ia merdeka,
5.      Orang yang membunuh,
6.      Orang yang murtad dari agama Islam. Bagi Imam Syafi’I, hukum orang murtad sama dengan hukum orang kafir.
7.      Orang yang berbeda Agama.
Sebagaimana Sabda Nabi saw dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid:
“Orang muslim tidak mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta peninggalan orang muslim.”[25]
G.    Ahli Waris dan Harta Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta peninggalan si mati berdasarkan nasab, perkawinan dan wala’ sebagaimana telah disebutkan sbelumnya. Ahli waris dari pihak laki-laki ada 15 orang dan ahli waris dari pihak perempuan ada 10 orang. Ahli waris dari laki-laki adalah[26]:
1.      Anak laki-laki
2.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki, hingga ke bawah
3.      Bapak
4.      Kakek dari bapak, hingga ke atas
5.      Saudara laki-laki sekandung
6.      Saudara laki-laki sebapak
7.      Saudara laki-laki seibu
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9.      Anak laki-laki dari saudara sebapak
10.  Paman sekandung
11.  Paman sebapak
12.  Anak laki-laki dari paman sekandung
13.  Anak laki-laki dari paman sebapak
14.  Suami
15.  Yang memerdekakan hamba.
Ahli waris dari pihak perempuan anatara lain:
1.      Anak perempuan
2.      Cucu perempuan dari anak laki-laki
3.      Ibu
4.      Nenek dari bapak
5.      Nenek dari ibu
6.      Saudari sekandung
7.      Saudari sebapak
8.      Saudari seibu
9.      Istri
10.  Perempuan yang memerdekakan hamba.
Adapun yang dimaksud dengan harta waris adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, yaitu Pada ayat 12 surat an-Nisaa dijelaskan bahwa harta warisan yang menjadi hak untuk dibagi kepada para ahli waris adalah harta yang telah dikurangi untk biaya pengurusan jenazah, pengobatan, dan pemenuhan wasiat bila orang yang meninggal mebuat wasiat.
H.    Furudh Muqadarah dan Hak-haknya
Furudh muqadarah atau Ashabul Furudh yang artinya bagian yang telah ditentukan dalam al-Quran telah termaktub dengan jelas dalam surat an-Nisaa ayat 11 dan 12. dalam ketentuan ayat tersebut, ada 6 furudh muqadarah, yaitu; ½ (al-Nisfu), ¼ (al-Rubu’u), 1/8 (al-Tsumunu), 2/3 (al-Tsulutsain), 1/3 (al-Tsuluts), dan 1/6 (al-Sudusu). Yang memiliki furudh tersebut adalah: (Lihat tabel di wawah ini!)
1/2
¼
1/8
2/3
1/3
1/6
Suami
Suami
Istri satu atau lebih
Dua anak perempuan atau lebih
Ibu
Bapak
Seorang anak perepuman
Istri satu / lebih
Dua / lebih cucu perempuan dari laki-laki
Saudara-saudara seibu atau saudari-saudari seibu
Ibu
Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki
Dua / lebih saudari sekandung
Kakekdari bapak
Seorang saudari sekandung
Dua / lebih saudari sebapak
Nenek dari bapak dan nenek dari ibu
Seorang saudari sebapak
Saudari sebapak satu/ lebih
Cucu perempuan dari anak laki-laki satu / lebih
Seorang saudari atau saudara seibu

Orang yang berhak mendapat bagian ½
Ada lima orang yang mendapat bagian ½, antara lain;
1.      Anak perempuan, jika tidak ada anak laki-laki yang membawa ‘ashobah dan anak perempuan lainnya. Ketentuan ini berdasarkan surat an-Nisaa [4]:176:
“Jika anak perempuan hanya seorang saja, maka ia mendapatkan ½ (setengah) dari harta peninggalan.”
Contoh Perhitungan:
Anak perempuan – saudara sebapak – istri                   Harta Tirkah: 20 juta
            ½                     sisa                       ¼                 KPK; 4
      4 x ½ = 2             4 – 3 = 1         4 x ¼ = 1            20 juta : 4 = 5 juta
2 x 5 jt= 10 jt       1 x 5 jt = 5 jt        1 x 5 jt= 5 jt
2.      Suami, mendapatkan ½ dari harta dengan syarat tidak ada anak (Far’u Waris).[27] Dasar hukum ketentuan ini adalah:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang dtinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya” (an-Nisaa [4]:12)
3.      Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, mendapat ½ dengan syarat tidak ada waladu shulbi[28], cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Dasar hukumnya adalah qiyas yang menyerupakan cucu perempuan dari anak laki-laki terhadap anak perempuan dan ini telah menjadi Ijma’ para ulama.
4.      Saudara perempuan sekandung, dengan syarat tidak ada bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara dan saudari sekandung.
5.      Seorang saudari sebapak, apabila tidak ada ashlu dzakar[29], far’u waris, saudara/ saudari sekandung, dan saudara/ saudari sebapak lainnya. Dasar hukumnya adalah:
“Jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan.” (an-Nisaa [4]:176)

Orang yang mendapat ¼
  1. Suami mendapat ¼ dengan syarat tidak ada far’u waris.
  2. Seorang istri atau lebih dengan syarat tidak ada far’u waris.

Orang yang mendapat bagian 1/8
Orang yang mendapat 1/8 adalah istri, apabila tidak ada anak atau anaknya anak yang ditinggal suami. Allah ta’ala berfirman:
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (an-Nisaa [4]:12)

Orang yang mendapat bagian 2/3
Yang mendapat bagian 2/3 ada empat, yaitu:
1.      Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki.
2.      Dua atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat tidak ada anak laki-laki, anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki (Mu’ashib).
3.      Dua atau lebih orang saudara perempuan sekandung, dengan syarat tidak ada ashlu dzakar dan far’u waris.
4.      dua atau lebih saudara perempuan sebapak, dengan syarat tidak ada ashlu dzakar dan far’u waris, dan salah seorang saudara sekandung laki-laki atau perempuan.
Dalil pembagian tersebut adalah:
“jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisaa [4]:176)
yang mendapat bagian 1/3
Orang yang berhak mendapat bagian 1/3 ada dua, yaitu:
a.       Ibu dengan syarat tidak ada far’u waris, jumlah saudara (2 atau lebih) laki-laki atau perempuan baik dari sekandung, seibu, ataupun sebapak.
b.      Dua atau lebih saudara / saudari seibu, dengan syarat tidak ada far’u waris dan ashlu dzakar.
Orang yang mendapat bagian 1/6
Orang yang mendapat bagian 1/6 ada tujuh orang:
a.       Bapak mendapat 1/6 dengan syarat tidak ada far’u waris.
b.      Ibu mendapat 1/6 dengan syarat tidak ada far’u waris, dan dua atau lebih saudara sekandung, sebapak, dan seibu.
c.       Kakek dari bapak mendapat 1/6 jika tidak ada bapak, dan far’u waris.
d.      Nenek dari bapak dan nenek dari ibu;
• Nenek dari Bapak mendapat 1/6 dengan syarat tidak ada bapak dan ibu.
• Nenek dari ibu mendapat 1/6 dengan syarat tidak ada ibu.
e.       Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih dengan syarat ada saudari sekandung yang medapat 1/2 , dan tidak ada saudara sebapak (mu’ashib).
f.        Seorang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat ada anak perempuan yang mendapat ½, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
g.       Seorang saudara seibu mendapat 1/6 dengan syarat hanya seorang diri, tidak ada far’u waris dan ashlu dzakar.
I.       ‘Ashobah
‘Ashabah menurut bahasa adalah kerabat seseorang dari jihat atau garis keturunan bapak. Menurut para ahli ilmu Faraidh ‘ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu atau furudh muqadarah – sebagaimana dijelaskan di atas- yangbagiannya sudah dipastikan dalam al-Quran dan Hadits yang sudah disepakati (bagiannya) atau belum seperti dzawil arham. ‘Ashabah terbagi kepada dua, yaitu:
1.      ‘Ashabah Nasabiyah
a.       ‘Ashabah bi Nafsi, yaitu laki-laki yang dipertalikan dengan si mati tanpa diselangi perempuan. Yang termasuk ahli waris ‘Ashabah bi Nafsi adalah seluruh ahli waris laki-laki kecuali suami dan saudara seibu. Dibagi pada empat jihat atau garis keturunan, yaitu:
1)      Anak
2)      Saudara
3)      Bapak
4)      Paman
Contoh:
Istri – bapak – anak laki-laki
 1/8      1/6             ‘A (ashabah)
b.      ‘Ashabah bi Ghairih, yaitu bagian sisa yang di dapat apabila ia bersama dengan mu’asibnya atau saudara laki-laki yang membawanya menjadi ‘ashabah, antara lain:
    1. Anak perempuan bila dengan anak laki-laki
    2. Cucu perempuan dari anak laki-laki bila bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki
    3. Saudari sekandung bila bersama dengan saudara sekandung
    4. Saudari sebapak bila dengan saudara sebapak.
Contoh :
Ibu – bapak – anak laki-laki – anak perempuan
1/6       1/6                (‘Ashabah bil ghair)
c.       ‘Ashabah Ma’a Ghair, yaitu setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ‘ashabah, tetapi orang tersebut tidak mendapat bagian dari ‘ashabah itu atau tidak bersama-sama mendapat ‘ashabah.
Contoh :
Anak perempuan – saudari perempuan sekandung
  ½                                  ‘A (ma’a ghair)
2.      'Ashabah Sababiyah, adalah bagian waris yang diterima karena ada sebab-sebab hamba sahaya.
J.      Dzawil Arham
Dzawil arham ahli waris yang tidak mendapat furudh muqadarah dalam al-Quran. Pengertian dzawil arham secara bahasa berasal dari kata ‘Rahiem’ yang artinya tempat menetapnya janin sedangkan secara luas adalah seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan yang meninggal. Secara istilah, dzawil arham adalah kerabat pewaris yang tidak mendapat furudh muqadarah dalam al-Quran atau hadits dan bukan pula termasuk pada ‘ashabah.
Klasifikasi dzawil arhami
1.      Anak Keturunan (keturunan anak laki-laki atau perempuan dari anak perempuan / cucu dari anak perempuan) mendapat ‘ashabah dzawil arham.
2.      Pihak bapak, yaitu nenek dan kakek ghair shahih atau nenek dan kakek dari pihak ibu.
3.      Anak keturunan saudara; anak laki-laki atau perempuan dari saudara perempuan sekandung, sebapak maupun seibu.
4.      Anak keturunan kakek dan nenek, yaitu; paman atau bibi dari bapak (‘Amm) atau paman dan bibi dari ibu (khal) beserta keturunannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian waris untuk golongan dzawil arham. Ulama pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa dzawil arham tidak mendapat waris anata lain; zaid bin Tsabit, Ibn Abbas, golongan Syafi’iyyah dan Malikiyah dengan alasan sebagai berikut:
a.       Hukum waris adalah apa yang ada dalam al-Quran dan Hadits
b.      Pada  dasarnya bagian bibi dari ayah dan bibi dari ibu Nabi menjawab: “Jibril telah memberitahukan bahwa keduanya tidak mendapat waris”
c.       Harta benda yang diserahkan ke baitul maal akan lebih bermanfaat dan merata ke seluruh umat.
Ulama beikutnya adalah yang berpendapat bahwa dzawil arham mendapat bagian waris bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris, antara lain; ‘Ali, Umar, Ibn Mas’ud golongan Hanafiyah dan Hanbali. Dengan alasan:
a.       Berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 dan an-Nisa ayat 7
b.      Hadits yang artinya:

“Khal mendapat waris jika (pewaris) tidak memiliki ahli waris”

c.       Dalil secara rasio
Bahwa dzawil arham lebih berhak dari baitul maal karena mempunyai 2 hubungan kekerabatan, yaitu hubungan nasab dan agama, sedangkan baitul maal hanya hubungan agama saja.

Cara Pembagian Waris Dzawil arham

1.      Bila tidak ada ashabul furud maka mendapat ‘ashabah.
2.      Bila hanya bersama seorang istri atau suami bagiannya adalah ‘ashabah. Bila dzawil arham sendiri, maka bisa menghabiskan seluruh bagian harta.
Ada tiga cara pembagian harta untuk dzawil arham, yaitu dengan cara qarabah, tanzil, dan Rahim.

Al-Qarabah (Kedekatan)

Kelompok ini mebagi harta kepada dzawil arham dengan melihat dekatnya hubungan nasab kepada simati, yaitu dengan mendahulukan yang nasabnya lebih dekat sebelum yang jauh.
Contoh:
Istri – Kakek dari ibu
  ¼              ‘A

At- Tanzil (Penempatan)

Kelompok ini membagi waris dzawil arham dengan menempatkan mereka kepada status ahli waris yang menjadikan sebab adanya pertalian nasab dengan orang yang meninggal.[30] Misalnya cucu perempuan ditempatkan pada anak perempuan.
Contoh :
Anak laki-laki dari cucu prm pancar laki-laki – anak laki-laki dari cucu prm pancar prm
                        ½ (= cucu prm dari laki-laki)                             x (cucu prm dari prm)
Ar-Rahim (Kerabat)
Kelompok ini membagikan harta kepada dzawil arham dengan asas pengertian rahim (kerabat) secara umum yang mencakup dzawil arham.[31] Pembagian jenis ini dilakukan tanpa melihat jihat atau kedekatan melainkan jika ada beberapa saudara maka waris dibagikan dengan sama rata.
K.    ‘Aul dan Radd
1.      ‘Aul (bertambah), ialah bagian ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan lebih banyak dari harta peninggalan yang meninggal. Secara bahasa ‘Aul berarti, dzalim, ziyadah, irtifa, dan juur yang artinya adalah bertambah. Dengan kata lain ‘aul adalah adanya kelebihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah sebelumnya. Kemudian angka yang bisa di ‘aul adalah angka 6 dan seterusnya berdasarkan pendapat Ibn Abbas.
Contoh :
Suami – 2 saudari kandung
   ½                  2/3             asal masalah = 6
½ x 6           2/3 x 6
   3         +       4     = 7 (‘Aul)
oleh sebab itu, maka cara yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a.       Tentukan furudh bagi masing-masing ahli waris
Suami -  saudari kandung – saudari seibu    Jika Harta Rp. 840.000
   ½                  ½                      1/6
b.      Carilah asal masalahnya
Suami -  saudari kandung – saudari seibu
   ½                  ½                      1/6            asal masalah (KPK) = 6
c.       Kemudian tetapkan saham masing-masing
Suami -  saudari kandung – saudari seibu
   ½                  ½                      1/6            Asal masalah (KPK)= 6
6x ½ =3     6 x ½= 3          6 x 1/6 =1 jadi, sahamnya adalah 3 : 3: 1
d.      Kemudian jumlahkan saham seluruhnya
3 + 3 + 1 = 7 (‘Aul)
e.       Setelah ditemukan asal masalah selanjutnya atau yang telah di ‘aul, maka asal masalah sebelumnya tidak dipakai dan yang digunakan adalah asal masalah yang baru.
Karena asal masalahnya adalah 7, maka jumlah harta yang senilai Rp. 840.000 dibagi kepada 7  yaitu masing-masing kepala mendapat Rp.120.000 dikalikan jumlah saham masing-masing. lihat bagan berikut:
Suami -  saudari kandung – saudari seibu
   ½                  ½                      1/6            Asal masalah (KPK)= 6
6x ½ =3     6 x ½= 3          6 x 1/6 =1 jadi, sahamnya adalah 3 : 3: 1
120 rbx 3    120 rbx 3        120 rbx 1
360 rb        360 rb              120 rb
2.      Radd (Membagi sisa) , ialah jumlah saham ahli waris yang lebih kecil dari pada asal masalah yang akan di bagi. Secara bahasa, Radd berarti ruju’, ‘Audu, sharfu yang artinya kembali. Dengan kata lain harta sisa yang dikembalikan kepada ahli waris. Cara penyelesaian masalah radd sama dengan penyelesaian ‘aul. Untuk adanya masalah radd diperlukan tiga hal;
a.       Adanya ashabul furudh
b.      Terjadi kelebihan saham
c.       Tidak ada ahli waris yang menerima ‘ashabah
L.     Hijab
Hijab secara istilah adalah ahli waris yang terhalang mendapatkan warisan baik secara keseluruhan / sebagian karena ada ahli waris lain yang lebih berhak menerima warisan atau terhalangnya seseorang untuk menerima warisan baik secara keseluruhan ataupun sebagian karena adanya orang atau ahli waris yang lebih dekat. Hijab terbagi dua; Pertama, hijab karena shifat, kedua, hijab karena orang lain.
a.       Hijab karena Shifat
Seseorang terhalang dalam mendapat warisan secara keseluruhan karena adanya predikat yang melekat pada dirinya, antara lain; pembunuh, beda agama, dan hamba sahaya. (lihat Sub Bagian F!)
b.      Hijab karena orang lain
Hijab karena orang lain adalah terhalangnya seseorang dalam mendapat waris karena ada ahli waris yang lebih berhak. Hijab jenis ini dibagi kepada dua.
1)      Hijab Hirman
Seseorang terhalang sama sekali dari mendapat waris karena adanya orang lain yang lebih berhak atau lebih dekat derajatnya. Berikut adalah ahli waris yang terhijab Hirman[32]:
a)      Cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki,
b)      Saudara kandung terhalang oleh anak laki-laki dan cucu laki-laki dari laki-laki dan ayah,
c)      Saudara sebapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, saudara kandung, saudari kandung jika menjadi mu’ashib bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.,
d)      Anak laki-laki saudara kandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, saudari sebapak dan saudari kandung jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
e)      Anak laki-laki saudara sebapak terhalangi oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara kandung, saudari sekandung, atau saudari sebapak jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
f)        Paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara sekandung/ sebapak, saudari sekandung/ sebapak jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
g)      Paman sebapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara sekandung/ sebapak, saudari sekandung/ sebapak, paman sekandung, saudari kandung, atau sebapak jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
h)      Anak laki-laki paman kandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara sekandung/ sebapak, saudari sekandung/ sebapak, paman sekandung, paman sebapak, saudari kandung, atau sebapak jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
i)        Anak laki-laki paman sebapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, kakek, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara sekandung/ sebapak, saudari sekandung/ sebapak, paman sekandung, paman sebapak, saudari kandung, atau sebapak jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari laki-laki,
j)        Kakek terhalang oleh bapak,
k)      Saudara seibu atau saudari seibu terhalang oleh bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, anak perempuan, cucu perempuan dari laki-laki,
l)        Saudari sekandung terhalang oleh anak laki-laki dan cucu laki-laki dari laki-laki dan bapak,
m)    Saudari sebapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari laki-laki, bapak, saudara kandung, dua saudari kandung atau lebih yang mendapat 2/3 jika tidak ada saudara sekandung (mu’ashib), dan saudari sekandung satu atau lebih jika menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan, atau cucu perempuan dari anak laki-laki,
n)      Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi oleh anak laki-laki, 2 anak perempuan atau lebih, jika tidak ada mu’ashib.
2)      Hijab Nuqshan
Seseorang terhalang dalam menerima bagian yang lebih besar menjadi lebih kecil karena adanya orang lain yang menyebabkan pengurangannya.
  1. Mafqud (kewarisan orang yang Hilang)
Kewarisan orang yang hilang dalam ilmu ini disebut dengan mafqud. Mafqud menurut para ahli faraidh adalah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya yang tidak diketahui keberadaannya, domisilinya, dan mati atau tidaknya. Untuk menguraikan kewarisan mafqud, maka harus ada pemisahan sebagai fungsi ahli waris dan yang mewariskan.
a.       Sebagai Muwarist (yang mewariskan), para Ulama telah sepakat menetapkan bahwa harta milik si magqud itu harus ditahan terlebih dahulu sampai ada berita yang jelas bahwa ia telah benar-benar meninggal, atau telah divonis meninggal oleh hakim.
b.      Sebagai Warist (ahli waris), kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa bagian si mafqud ditahan dulu sampai persoalannya jelas. Jika mafqud muncul dalam keadaan hidup, tetapi hartanya belum dibagikan, maka ia berhak mendapatkan hartanya yang ditahan oleh ahli warisnya itu, dan disebdiakan untuknya. Tetapi jika ia muncul sesudah divonis mati oleh hakim, dan hartanya telah dibagikan termasuk bagiannya yang telah ditahan, maka ia berhak mengambil sisa yang masih ada. Jika telah habis, maka para ahli waris tidak diminta pertanggungjawaban untuk menggantinya.
Cara Penyelesaian:
1)      Cari bagian masing-masing (furudh muqadarah) sekiranya mafqud dianggap masih hidup,
2)      Cari bagian masing-masing, sekiranya mafqud dianggap telah mati,
3)      Dari kedua perhitungan tersebut, para ahli waris diberikan bagian terkecil. Sisanya ditahan untuk mafqud hingga persoalannya menjadi jelas.
  1. Kakek Beserta Saudara
Kakek dalam permasalahan ini adalah kakek dari ayah atau lebih ke garis atas. Sedangkan saudara adalah saudara sekandung, sebapak dan seibu. Karena saudara seibu menurut ijma’ terhalang oleh kakek.[33]
Berikut adalah cara pembagian Harta kepada kakek dan saudara-saudara:
a.       Dibagi rata, yaitu harta waris dibagi sama rata antara kakek dan saudara,
Contoh :
Saudara kandung – saudara sebapak – kakek                              harta 24 Ha
   1                            1                     1     = 3                               24 Ha : 3 = 8
   8 Ha                     8 Ha                 8 Ha
b.       Kakek diberikan 1/3 bagian dari sisa,
Contoh :
Kakek – 5 Saudari sekandung                                                     Harta 24 Ha
    1/3                    2/3                 = 3                                           24 Ha : 3 = 8
  1/3 x 3= 1                  2/3 x 3=2
  1 x 24/3 =8 Ha      2 x 24/3 =16                          
c.       kakek diberi 1/6 bagian dari seluruh harta.
Contoh :
 Istri    Kakek – saudara laki-laki kandung                                 Harta 24 Ha
  ¼          1/6                      ‘A                = 12
¼ x 12 =3    1/6 x 12 = 2            12 – 5 = 7              
3 x 24/12       2 x 24/12               7 x 24/12
    6 Ha               4 Ha     14 Ha
O.    Gharawain
Gharawain adalah apabila ibu bersama dengan suami atau istri dan ayah. Menurut pendapat jumhur, bagian ibu adalah 1/3 sisa sedangkan menurut Ibn Sirrin, jika ibu bersama suami, maka bagiannya adalah 1/3 sisa. Sedangkan bila ibu bersama istri dan ayah, maka baginya 1/3 harta.
P.      Musyarakah
Musyarakah adalah apabila seseorang meninggal, tidak meninggalkan anak, dan ayah (kalalah), tetapi meninggalkan beberapa saudara baik kandung, seibu, atau sebapak.
Contoh:
Suami – ibu – 2 saudara laki-laki seibu – saudara kandung
   ½        1/6                     1/3                           x                      masalah 6
    3          1                        2                            x
permasalahan yang muncul adalah bahwa saudara kandung lebih dekat derajatnya dari pada saudara seibu, akan tetapi tidak mendapat bagian. Oleh sebab itu Imam Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa saudara kandung berserikat dengan saudara seibu dalam 1/3, begitu pula dengan saudara sebapak dan saudara perempuan. Syaratnya adalah jumlah saudara sekandung harus lebih dari dua. Jika tidak, maka bagiannya 1/6.
Q.    Bayi dalam Kandungan
Dalam Hukum Islam, bayi dalam kandungan sudah mempunyai hak waris mewarisi, dengan syarat bayi tersebut dalam pernikahan yang sah dan adanyatanda-tanda kehidupan. Syarat nikah yang sah menurut ijtihad para Ulama adalah lahirnya anak minimal 6 bulan setelah akad, barulah anak tersebut boleh disandarkan kepada ayahnya.
Cara membagi waris anak dalam kandungan adalah:
1.      serupa dengan orang mafqud, bayi dianggap seperti manusia hidup pada umumnya,
2.      bayi dianggap laki-laki,
3.      Dianggap perempuan,
4.      dari perhitungan di atas, diambil bagian terkecil untuk ahli waris.





Referensi:
A. Djazuli.2006.Kaidah-kaidah Fikih.Jakarta: Kencana
A. Djazuli.2006.ILMU FIQH Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Al-Qadhi Abu Syuja’ bin Ahmad al-Ashfahani.2009.Fiqh Sunnah Imam Syafi’i.Bandung: PADI Bandung
Dedeng Rosyidin.2003.ILMU FARAIDH.hand out sekolah pada Pesantren Persatuan Islam 1 Bandung
Eman Suparman.1995.HUKUM WARIS INDONESIA. Bandung: Mandar Maju
Fatchur Rahman.tanpa tahu.ILMU WARIS.Bandung: AL-MA’ARIF
Fadhilah as-syaikh faishal bin ‘Abd al-‘Aziz  al- Mubarak.Terjemahan
Nailul Authar Jilid 5.1374 H.Kairo: al-Muthabiah al-s-salafiyah.
Jaih Mubarak.2000.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
K.H.Q. Saleh dan H.A.A. Dahlan.2000.Asbabun Nuzul.Bandung: Diponegoro
R. Soetojo Prawirohamidjojo.2005.HUKUM WARIS KODIFKASI. Surabaya: Airlangga University Press
R. Wirdjono Projodikoro.1995.Hukum Waris di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung
            Salim,HS.2002.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).Jakarta: Sinar Grafika
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.2007.Bandung: Citra Umbara
            Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih.Hand out Mata Kuliah Hukum Perdata   




DAFTAR ISI
FIQH MAWARIS ~hal, 1
A.     Definisi Ilmu Waris ~hal, 1
B.     Asas-asas Fiqh Mawaris ~hal, 3
C.     Sumber Hukum Fiqh Mawaris ~hal, 4
1)      Sumber Hukum Waris Furudh Muqadarah ~hal, 4
2)      Sumber Hukum Wasiat ~hal, 7
D.     Hubungan Fiqh Mawaris dengan Hukum Nasional ~hal, 8
1)      Pengertian Hukum Waris KUH Perdata ~hal, 8
2)      Pembagian ahli Waris dalam KUH Perdata ~hal,10
E.      Sebab-sebab Hubungan Kewarisan ~hal, 15
F.      Penghalang Kewarisan ~hal, 17
G.     Ahli Waris dan Harta Waris ~hal, 21
H.     Furudh Muqadarah dan Hak-haknya ~hal, 23
I.        ‘Ashabah ~hal, 27
J.       Dzawil Arham ~hal, 28
            Al- Qarabah ~hal, 29
            At- Tanzil ~hal, 30
            Ar- Rahim ~hal, 30
K.    ‘Aul dan Radd ~hal, 30
1)      ‘Aul ~hal,30
2)      Radd ~hal,31
L.      Hijab ~hal, 32
a. Hijab Karena Shifat ~hal, 32
b. Hijab Karena Orang Lain ~hal, 32
M.   Mafqud (Kewarisan Orang yang Hilang) ~hal, 34
N.    Kakek Beserta Saudara ~hal, 35
O.    Gharawain ~hal, 36
P.      Musyarakah ~hal, 36
Q.    Bayi dalam Kandungan ~hal, 36



[1] Dedeng Rosyidin.2003.ILMU FARAIDH.hand out sekolah pada Pesantren Persatuan Islam 1 Bandung..,hal,1
[2] Drs. Fatchur Rahman.tanpa tahun.ILMU WARIS. Bandung: PT. Al-Ma’arif.,hal,32
[3] Jaih Mubarak.2000.SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.,hal,46-47
[4] Hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah. Fadhilah as-syaikh faishal bin ‘Abd al-‘Aziz  al- Mubarak.Terjemahan Nailul Authar Jilid 5.1374 H.Kairo: al-Muthabiah al-s-salafiyah.,hal,2017
[5] Ibid.,hal,2019-2020
[6] Hadits dari Sa’ad bin Abi  Waqas, bahwa ia berkata:  Rasulullah pernah datang ke tempatku untuk melawat aku ketika aku sakit keras, lalu aku bertanya: Ya Rasulullah! Sesungguhnya sakitku sudah sangat payah sebagaimana yang engkau lihat sendiri, sedangkan orang  yang kaya yang tidak ada ahli waris lain selain anakku perempuan,  apakah boleh aku menyedekahkan duapertiga dari hartaku? Ia menjawab: jangan. Aku betanya lagi: Ya Rasulullah, bagaimana kalau separuhnya? Ia pun menjawab lagi: jangan. Aku bertanya lagi: kalau sepertiga? Ia menjawab: Sepertiga, dan (sekali lagi) sepertiga itu sudah cukup banyak atau sudah cukup besar, karena sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli warismu itu dalam keadaan cukup atau kaya akan lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka itu dalam keadaan kekurangan yang selalu menadahkan tangan kepada orang lain. (H.R Jama’ah).Ibid.,hal,2023
[7] Ibid.,hal,2026
[8] Drs. Fatchur Rahman.tanpa tahun.ILMU WARIS. Bandung: PT. Al-Ma’arif.,hal,57
[9] Eman Suparman.1995.HUKUM WARIS INDONESIA. Bandung: Mandar Maju.,hal,1
[10] Salim HS.2002.PENGANTAR HUKUM PERDATA TERTULIS (BW).Jakarta: Sinar Garfika.,hal,137
1 Drs. H. Dedeng Rosyidin.2003.Ilmu Faraidl.Bandung:Pesantren Persatuan Islam.,hal,1
[11] Ibid.,hal,116
[12] Ibid.,hal,121
[13] Ibid.,hal,83
[14] Ibid.,hal,84
[15] Ibid.,hal,86
[16] Ibid.,hal,94
[17] qathlul khata atau pembunuhan karena kesalahan. Silaf maksud, ialah apabila pemburu yang hendak membunuh binatang, lalu karena salah tembakannya itu mengenai orang dan menyebabkan kematian. Sedangkan silaf tindakan misalnya ketika seseorang memanjat pohon untuk memberihkannya, kemudian sabitnya jatuh dan mengenai seseorang yang sedang lewat di bawahnya.
[18] al-jari majral khata apabila seseorang sedang tidur ditempat yang tinggi, kemudian tempatnya roboh hingga jatuh dan menimpa seseorang hingga tewas.
[19] pembunuhan jenis ini  terjadi jika seseorang membunuh orang yang mewariskan karena ada alasan sah (hak), misalnya untuk melakukan qishas, membela diri dan kehormatannya atau untuk mempertahankan haknya.hal ini sesuai pula dengan Firman allah:
“Janganlah kamu membunuh diri yang diharamkan oleh Allah, selain karena alasan yang hak”
[20] Pembunuhan seperti ini terjadi misalnya ketika seorang suami menemukan istrinya yang sedang dalam keadaan berzina, kemudian ia memukulnya hingga membawa kematian. Atau ketika ia membela diri dengan tindakan yang melewati batas hingga menyebabkan kematian
[21] Ibid.
[22] Ibid.,hal,97
[23] Ibid.,hal,108
[24] Al-Qadhi Abu Syuja’ bin Ahmad al-Ashfahani.2009.Fiqh Sunnah Imam Syafi’i.Bandung: PADI Bandung.,hal,183
[25] Ibid.,hal,184
[26] Dedeng Rosyidin.2003.ILMU FARAIDH.hand out sekolah pada Pesantren Persatuan Islam 1 Bandung..,hal,1-2
[27] Far’u Waris adalah; anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.Ibid.,hal,4
[28] Waladu Shulbi antara lain; anak laki-laki dan anak perempuan.
[29] Yang termasuk ashlu dzakar adalah bapakdan kakek.
[30] Dedeng Rosyidin.2003.ILMU FARAIDH.hand out sekolah pada Pesantren Persatuan Islam 1 Bandung.,hal,46
[31] Ibid.,hal,49
[32] Ibid.,hal,21-24
[33] Ibid.,hal,34