Hal-hal yang Menghalangi dan Menggugurkan Qishas dalam Pelukaan


HAL-HAL YANG MENGHALANGI DAN MENGGUGURKAN QISHAS DALAM PELUKAAN
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Fiqih Jinayah  Jurusan Hukum Pidana Islam Smester IV (Empat)








Nama:
Neneng Fitria Nurhasanah (208 301 280)





FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
BANDUNG
2010






BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang universal. Hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah, di dalamnya tidak hanya mengatur pokok-pokok permasalahan hubungan manusia dengan Tuhannya saja, melainkan mengatur pula hubungan manusia dengan Manusia lainnya.
Hubungan manusia dengan manusia diatur dalam bidang Mu’amalah (arti luas).[1] Bidang Mu’amalah ini membahas hubungan keluarga, ekonomi, pidana, peradilan, kenegaraan dan lain sebagainya.
Pembahasan makalah ini akan mengupas bidang pidana Islam atau Fiqh Jinayah. Di dalam Fiqh Jinayah dikenal tiga jenis tindak pidana, antara lain; Jarimah Hudud, Jarimah Qishas-Diyat, dan Jarimah Ta’zir. Jarimah Hudud adalah tindak pidana yang merupakan Hak Allah, oleh sebab itu, macam dan jumlah sanksinya telah ditetapkan dalam al-Quran sehingga kewenangan hakim dalam wilayah Hudud hanyalah dalam pelaksanaannya saja.
Lain halnya dengan Hudud, jarimah Qishas-Diyat telah ditentukan jenis sanksinya tetapi tidak memiliki batas tertinggi dan batas terendah[2] sehingga banyaknya sanksi bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, maka jarimah ini termasuk pada hak manusia karena yang dilanggar adalah hak manusia. Ibn Nujaym Mengatakan;[3]
“Jarimah Qishas sama dengan Jarimah Hudud”
ia mengatakan bahwa dasar kesamaan keduanya terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam penjatuhannya.
Jarimah qishas dibagi menjadi lima macam, yaitu; 1) pembunuhan sengana, 2) pembunuhan karena kesalahan, 3) pembunuhan semi sengaja, 4) penganiayaan sengaja, dan 5) penganiayaan tidak sengaja.[4] Qishas dalam pembunuhan berbeda hukumnya dengan qishas dalam penganiayaan, namun pada keduanya bisa terhalang penjatuhannya bahkan bisa gugur karena adanya syubhat.
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan sebelumnya dalam latar belakang masalah, sangat penting untuk mengetahui lebih jauh mengenai permasalahan tersebut. Oleh karena itu, masalah yang akan dikaji lebih jauh adalah mengenai sebab-sebab terhalangnya qishas dan sebab gugurnya qishas dalam pelukaan.
C.     Tujuan Penulisan
Penulisan mkalah ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami seluk beluk permasalahan qishas yang khususnya dalam pelukaan atau Jarah, agar diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masalah tersebut.
Selain itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk mmenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Fiqh Jinayah II semester IV Jurusan Hukum Pidana Islam.



















BAB II
Hal-hal yang Menghalangi Qishas dan Menggugurkan Qishas dalam Pelukaan
Hukum pidana dalam Islam mengenal tiga jenis tindak pidana atau yang disebut Jarimah. Jarimah tersebut antara lain; Jarimah Hudud, Jarimah Qishas-Diyat, dan Jarimah Ta’zir. Pembahasan kali ini akan mengupas tentang Jarimah Qishas-Diyat.
Ketiga jenis tindak pidana di atas telah mendapat pengaturannya dalam al-Qur’an dan dalam Hadits Rasulullah saw, dan Hakim hanya diberi kekuasaan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut.
Asas Legalitas Jarimah tersebut sesuai dengan kaidah berikut:
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman tanpa adanya aturan”[5]
Qishas sendiri adalah jenis jarimah yang sanksinya serupa dengan perbuatan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Dengan kata lain qishas adalah balasan setimpal bagi pelaku. Jika pelaku memotong tangan korbannya, maka ia akan diberi balasan yang sama, yaitu dengan memotong kembali tangan pelaku. Hal ini didasarkan pada Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita, maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dar saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang ma’ruf, dan hendaklah  (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang ma’ruf. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih.”(al-Baqarah:178)
Dalam pelaksanaan qishas, sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa penjatuhannya tidak boleh terdapat syubhat atau keraguan dan jika ditemukan syubhat di dalam penjatuhannya, maka qishas tersebut terhalang atau gugur. Berikut adalah sebab-sebab terhalangnya qishas dan hal-hal yang dapat menggugurkan qishas.

A.     Sebab-sebab Umum yang Menghalangi Qishas dalam Pelukaan

Qishas dalam pelukaan dapat terhalang pemenuhannya apabila terdapat sebab-sebab berikut:

1) Apabila Korban Merupakan Bagian dari Pelaku
Apabila korban merupakan bagian dari pelaku, maka hukum qishas terhaalang dalam pemenuhannya. Keadaan tersebut terjadi apabila seorang ayah
melukai anaknya, baik itu ayah tersebut memotong (tangan, kaki dan lain sebagainya), atau ayah memecahkan kepala anaknya, maka tidak ada qishas baginya. Kemudian hukum bagi seorang ibu yang melukai anaknya adalah serupa dengan ayah, karena ibu merupakan bagian dari orang tua. Begitupun nenek dan kakek sama saja karena keduanya pula bagian dari ayah dan ibu. Hal ini didasarkan atas Sabda Nabi saw,

“Tidak diqishas orang tua karena anaknya”

Namun apabila perbuatan penganiayaan dilakukan oleh anak yang telah dewasa dan berakal terhadap ayahnya maka balasan bagi pelaku harus sesuai dengan ketentuan nash-nash yang umum.[6]
Imam Malik mensyaratkan maksud dari pelukaan tersebut apabila dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya apabila terdapat keraguan dalam maksud perbuatannya. Hal ini disepakati pula oleh Imam-imam yang lain.
2) Hilangnya atau tidak adanya Kesetaraan
Qishas terhalang apabila tidak adanya kesetaraan atau Kafaah antara korban dengan pelaku. Kesetaraan ini hanya dilihat dari aspek korban, bukan dari aspek si pelaku.
Maliki mensyaratkan kesetaraan dalam dua hal; yaitu apabila seorang kafir atau hamba sahaya melukai orang muslim.[7] Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa seorang muslim tidak dikenai qishas apabila ia melakukan pelukaan terhadap kafir atau hamba sahaya. Karena tidak adanya kesetaraan, dan kedudukan muslim lebih tinggi dari pada hamba sahaya dan kafir.[8] namun sebaliknya, apabila kafir yang membunuh seorang muslim, maka wajib baginya dikenai qishas.
Maka apabila pelaku dan korban kedudukannya setara, qishas wajib dijatuhkan. Namun bila kesetaraan tidak ditemukan, tidak disyaratkan disetarakannya korban dan pelaku karena kesetaraan disyaratkan untuk menghalangi pembunuhan yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah bukan untuk menghalangi pembunuhan dari yang lebih rendah terhadap yang lebih tinggi.[9]
Dalil kesetaraan dalam al-Quran dan Hadits adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang di bunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita….” (al-Baqarah:178)
“Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw,:orang merdeka yang membunuh budak tidak diqishas..”[10]
Dasar kesetaraan menurut jumhur adalah orang merdeka dan Islam, sedangkan menurut Hanafi dasar kesetaraan adalah orang merdeka dan sejenisnya. Dasar tersebut akan diuraikan beikut[11]:
  1. Orang Merdeka
Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa tidak ada balasan bagi orang merdeka jika ia melukai hamba. Imam Malik menambahkan, tidak ada pula balasan dari hamba yang melukai orang merdeka. Pendapat ini berpegang pada Firman Allah dalam surat al-Baqarah[2]:178.
Berbeda dengan jumhur, hanafiyah tidak mesyaratkan adanya kesetaraan. hal ini didasarkan pada Firman Allah swt:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwa sanya jiwa dibalas dengan jiwa..” (al-Maidah [5]:45)
Menurut Hanafiyah, ayat di atas menunjukkan bahwa dasar qishas adalah hilangnya jiwa atau nyawa sehingga tidak ada perbedaan antara hamba sahaya dan orang merdeka.[12]
Berbedanya aspek atau sisi orang merdeka dan hamba sahaya tidak hanya terlihat dari penjatuhan qishas saja, namun akan berbeda pula dalam jumlah diyat orang merdeka dan hamba sahaya.
Adapun dalam hal orang merdeka itu laki-laki atau perempuan, para fuqaha sepakat bahwa keduanya setara dan tetap dapat dikenai qishas.
  1. Islam
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa muslim tidak kufu dengan kafir. Pendapat ini disepakati oleh Imam Malik, Syafi’I dan Imam Ahmad dengan berpegang pada kaidah berikut:

“Tidak ada qishas dari seorang muslim apabila ia membunuh seorang dzimmi”

Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa kafir dan muslim keduanya setara, karena darah keduanya sama sucinya dan sama terjaganya. Maka keduanya wajib atas qishas satu dengan yang lainnya. Malik berpendapat  bahwa qishas antara muslim dan kafir sifatnya mutlak dalam hal pelukaan.
  1. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan keduanya serupa dalam hal qishas. Pendapat ini dipegang oleh jumhur. Sedangkan Abu Hanifah berbeda, laki-laki tidak dapat diserupakan dengan perempuan dalam hal pelukaan karena sesungguhnya jumlah diyat keduanya pun akan berbeda. Diyat perempuan adalah setengah dari diyat laki-laki, maka qishas terhalang karenanya.
            Sama dalam Jumlah
Abu Hanifah mensyaratkan adanya kesamaan jumlah pelaku dan korban. Maka jika pelaku lebih banyak dari korban qishas terhalang karenanya. Namun apabila pelaku tolong-menolong atau bekerja sama dalam melakukan kejahatan, maka yang wajib dikenai qishas adalah satu orang dan yang lainnya dikenai diyat pelukaan. Adapun bila masing-masing pelaku melakukan, maka masing-masing dari mereka dikenai qishas.[13]
 3) Perbuatan menyerupai sengaja
Syafi’I dan Ahmad berpendapat kejahatan dalam pelukaan ada kalanya sengaja dan adakalanya serupa sengaja. Jika perbuatan dilakukan secara sengaja, maka dapat dilihat dari hasilnya. Pada bagian ini qishas diwajibkan pada pelukaan sengaja, sedangkan pelukaan semi sengaja diwajibkan untuk diyat.[14]
Adapun Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa kejahatan dalam pelukaan tidak ada pelukaan dalam bentuk semi sengaja, melainkan secara sengaja saja. Menurut Maliki perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan secara sengaja atau karena kesalahan.[15]
4) Pelukaan dilakukan berdasarkan Sebab
Hanafi berpendapat bahwa kejahatan dalam pelukaan dengan sebab tidak diwajibkan qishas karena qishas adalah perbuatan manusia yang wajib dibalas melalui jalan kemanusiaan, karena dasar qishas adalah kesamaan dalam perbuatan. Dan Imam Hanafi mewajibkan diyat sebagai pengganti qishas. Sedangkan menurut jumhur, pelaku tetap harus dikenai qishas.[16]
5) Tindak Pidana terjadi di Dar Harbi
Abu Hanifah berpendapat tidak dikenai qishas jika pelaku melakukan perbuatan di Dar Harb. Sedangkan jumhur berpendapat Qishas sama saja wajib dijatuhkan baik perbuatan tersebut dilakukan di negri Islam atau bukan.[17]
6) Tidak ada tempat Pelaksanaan
Hal ini terjadi apabila ketika korban sedang menyambungkan satu persendian jarinya yang terpotong, kemudian datang pelaku memotong tangan korban yang telah terpotong pada bagian persendian kedua jari yang sama, pelaku tidak bisa dikenai qishas jika ibu jari tangannya normal karena qishas akan berakibat hilangnya dua persendian, sedangkan sendi yang dipotong pelaku hanya satu, akibatnya persamaan tidak ada.
Begitupun jika pelukaan yang dilakukan pelaku mengakibatkan menembus selaput otak atau inti otak, qishas tidak dapat dilakukan karena tidak mungkin melukai pelaku dengan cara yang sama persis, dengan demikian qishas terhalang. Maka dalam keadaan demikian hak korban berganti dari hak qishas menjadi hak diyat.

B.     Sebab-sebab khusus yang Menghalangi Qishas dalam Pelukaan

Sebab-sebab khusus yang enghalangi qishas dalam pelukaan antara lain[18]; 1) Tidak mungkin dilaksanakan Tanpa zalim, 2) Tidak ada Kesamaan dalam tempat, dan 3) Tidak ada Kesamaan dalam Kesehatan dan Kesempurnaan.
1) qishas diyaratkan harus dilakukan tanpa ada kedzaliman.
Para fuqaha mempunyai dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan sebagian Madzhab Hanbali berpendapat qishas tidak mungkin dilakukan pada tempat yang tidak mempuyai batas tertentu. Kedua, barang siapa dipotong tangannya melalui pertengahan lengan maka ia berhak mengqishas  dari siku dan berhak mendapat kebijkan dari separuh lengan. Barang siapa dipotong tangannya dari separuh lengan bagian atas maka ia berhak mengqishas dari pergelangan, bahkan mendapat kebijakan setengah lengan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’I dan sebagian Hanbali.[19]
Imam Malik berpendapat qishas dapat dilakukan sekalipun pemotongan terjadi pada persendian jika hal itu memungkinkan dan tidak menghawatirkan. Jika tidak demikian maka qishas tidak boleh ada.
Syafi’I dan Ahmad sependapat bahwa tidak boleh ada qishas dengan cara memacahkan tulang, karena tidak mungkin dicapai kesamaan dan kedzaliman tidak terjamin. Sedang Imam Malik berpendapat qishas bisa tetap ada jika ahli dapat memastikan kelangsungan hidup pelaku dan mungkin dilakukan.
Apabila patah tulang disertai luka pada kepala atau muka, seperti; hasimah, munqilah, atau luka pada tubuh, Imam Syafi’I  berpendapat harus ada qishas melalui luka mudhihah (luka yang sampai terlihat tulangnya) karena luka tersebut termasuk dalam tindak pidana (jinayat) dan qishas dimungkinkan dilaksanakan. Dia berhak mendapat sisa diyat. Jika qishas tidak mungkin dilaksanakan, yaitu beralih pada pengganti. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali. Walaupun demikian sebagian ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa korban berhak mendapat sisa diyat, namun sebagian yang lain berpendapat tidak ada sesuatu apapun bersama qishas. Karena kasus tersebut hanya satu luka qishas dan diyat tidak bisa dikumpulkan.[20]
Imam Malik berpendapat ada qishas pada luka badan dan bukan luka kepala, jka memungkinkan. Dan tidak ada qishas pada luka kepala dan muka (Syijaj). Kesimpulannya, pangkal perbedaan para fuqaha dalam hal ini adalah dalam pembatasan.
2) Tidak ada Persaman Tempat
Pelukaan terhadap suatu anggota badan dikenai hukuman yang serupa. Maka apabila tidak ada kesamaan dalam tempat, qishas tidak dapat dilakukan karena syarat qishas adalah tercapainya kesamaan.jari tengah dengan jari tengah, tangan kanan dengan tangan kanan, hidung dengan  hidung dan lain sebagainya, karena masing-masing dianggap memiliki manfaat yang berbeda. Perbedaan manfaat pada  dua benda dianggap dua jenis yang berbeda. Karena tidak ada persamaan jika berbeda jenis.[21]
3) Tidak ada Kesamaan Kesehatan dan Kesempurnaan
Kesehatan dan Kesempurnaan merupakan syarat qishas. Menurut Imam Syafi’I tangan yang sehat tidak diqishas karena tangan yang lumpuh. Adapun jika korban ingin mengqishas tangan pelaku yang lumpuh karena pelaku memotong tangan korban yang sehat, ia berhak mengqishas karena ia mengambil apa yang ada di bawah haknya.
Kekurangan   nilai  anggota  badan yang lumpuh sama seperti anggota adan sehat dari segi kejadian. Yang kurangnya hanya sifat. Makna kesamaan tidak disyaratkan dalam sifat. Imam syafi’i dan Ahmad bin hanbal berhati-hati dalam mengqishas anggota badan lumpuh yang disebabkan anggota badan sehat. Keduanya mensyaratkan harus adanya kepastian dari pihak ahli bahwa memotong anggota badan yang lumpuh tidak memengaruhi kehidupan orang yang diqishas. Kerena lumpuh adalah penyakit, sedangkan penyakit mempunyai pengaruh terhadap badan. [22]
Imam malik berpendapat tidak ada qishas terhadap anggota badan yang sehat karena memotong anggota badan yang lumpuh, begitupun sebaliknya. Imam malik, Imam syafi’i, dan Ahmad berpendapat ada qishas pada dua tangan yang lumpuh. Sebagian syafi’yah berpendapat tidak ada qishas karena lumpuh adalah penyakit, sedangkan pengaruh penyakit berbeda-beda terhadap tubuh. Imam Hanafi berpendapat tidak ada qishas antara dua anggota badan yang lumpuh.
Imam hanafi, Imam syafi’i, dan Ahmad berpendapat tangan atau kaki yang sempurna tidak diqishas karena memotong tangan atau kaki yang tidak sempurna. Sebaliknya, tangan atau kaki yang tidak sempurna diqishas karena memotong tangan atau kaki yang lengkap.
Imam malik berpendapat boleh memotong tangan atau kaki yang jari-jarinya kurang satu karena pelaku memotong kaki korban yang sempurna, tanpa ada tambahn denda bagi pelaku.[23] Tidak ada qishas jika memotong tangan atau kaki korban yang kurang satu jika kaki atau tangan pelaku sempurna. Karena tidak terdapat kesamaan.

C.     Sebab-sebab yang Menggugurkan Qishas dalam Pelukaan

1) Jika tempat qishas hilang/ tidak ada karena berbagai sebab
Qishas gugur karena hilangnya tempat penjatuhan. Imam Malik berpendapat, jika qishas gugur maka diyatnya pun gugur karena hak korban dalam qishas bersifat asli.
Imam Syafi’I berpendapat jika tempat qishas hilang, maka qishas gugur dan berpindah pada diyat. Karena menurutnya kewajiban bagi perbuatan sengaja adalah satu dari dua perkara. Sedangkan Imam Hanafi mensyaratkan sebab hilangnya tempat qishas pelaku dan bagi korban berhak atas diyat.
2) Pengampunan
Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad, mengampuni qishas adalah menggugurkannya secara Cuma-cuma tanpa menggantinya dengan diyat.[24]
Pemaafah pelaku dilakukan tanpa perlu izin dari pelaku, jika korban memafkan maka haknya gugur dan ia berpegang pada haknya yang lain. Dan jika diyat gugur, maka ia telah menggugurkan haknya dan berpegang pada hak yang lain.
Imam Malik menyebutkan bahwa hal yang menggugurkan qishas dengan Cuma-Cuma disebut pengampunan, sedangkan yang menggugur qishas dengan diyat disebut akad damai karena membutuhkan kesukarelaan pelaku.
Imam Syafi’I dan Ahmad mengatakan Jika korban belum baligh dan tidak berakal, maka hak penuntutan ada pada wali. Namum Imam Syafi’I menambahkan bahwa hak wali dan pewaris terbatas dalam pelukaan. Adapun menurut Imam Malik dan Hanafi, pewaris dan wali hanya punya hak dalam menentukan akad damai.
Menurut Syafi’I dan Ahmad  jika pelaku diampuni, maka qishas gugur jika luka korban sembuh dan tidak menjalar. Namun jika luka tersebut menjalar Imam Hanafi berpendapat bahwa ampunan tersebut sah karena ampunan bagi perbuatan merupakan ampunan bagi akibat yang ditimbulkannya.[25]
Sedangkan Imam Syafi’I dan Ahmad membedakan antara ampunan yang menyeluruh pada luka dan akibat yang ditimbulkan. Ampunan dianggap sah tetapi pelaku harus bertanggungjawab dengan apa yang ditimbulkan. Jika ampunan diganti diyat, maka diyat wajib pada tangan keseluruhan. Jika ampunan Cuma-Cuma, diyat hanya wajib bagi pada anggota badan yang dilukai. Pendapat tersebut adalah pendapai Imam Malik.
3) Akad Damai
jika korban belum baligh dan berakal, maka wali dan pewaris berhak mengajukan akad damai. Wali tidak boleh meminta akad damai yang lebih kecil dari diyat. Jika lebih kecil akad dianggap sah dan pelaku harus membayar sisanya dan qishas tetap gugur.
Imam Malik Berpendapat korban boleh meminta pertanggungjawaban lagi selama pelaku tidak dalam keadaan miskin.



BAB III

Kesimpulan

A.     Sebab-sebab Umum yang menghalangi Qishas dalam Pelukaan

Qishas dalam pelukaan dapat terhalang pemenuhannya apabila terdapat sebab-sebab berikut:
1) Apabila Korban Merupakan Bagian dari Pelaku
2) Hilangnya atau tidak adanya Kesetaraan
  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Jenis Kelamin
3) Perbuatan menyerupai sengaja
4) Pelukaan dilakukan berdasarkan Sebab
5) Tindak Pidana terjadi di Dar Harbi
6) Tidak ada tempat Pelaksanaan

B.     Sebab-sebab Khusus yang menghalangi Qishas dalam Pelukaan

1) Tidak mungkin dilaksanakan Tanpa zalim,
2) Tidak ada Kesamaan dalam tempat, dan
3) Tidak ada Kesamaan dalam Kesehatan dan Kesempurnaan.

C.     Hal yang Menggugurkan Qishas dalam Pelukaan

1) Jika tempat qishas hilang/ tidak ada karena berbagai sebab
2) Pengampunan
3) Akad Damai









Daftar Pustaka

            Abd Qadir al-‘Awdah.1992. al-Tasyri’ al-Jina-I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, Jilid II.Beirut: Muassasat ar-Risalat.
            Abd Qadir al-‘Awdah.2008.Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid IV. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu.
A.Djazuli.1997. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulang Kejahatan dalam Islam).Jakarta: Raja Grafindo Persada.
A.Djazuli.2006.Ilmu Fiqh.Jakarta: Kencana
A.Djazuli.2006.Kaidah-kaidah Fiqh.Jakarta: Kencana.
A.Hanafi.1967.Asas-asas Hukum Pidana Islam.Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmad Wardi Muslich.2005.Hukum Pidana Islam.Jakarta: Sinar Grafika
Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal.2004.Kaidah-kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam).Jakarta: Pustaka Bani Quraisy.
Jabir al-Jazairi.2004.ENSIKLOPEDI MUSLIM.Jakarta; Darul Falah



[1] A. Djazuli.2006.ILMU FIQH Penggalian, Perkembangan, Penerapan Hukum Islam.Jakarta:Kencana.hal.,47
[2] A.Hanafi.1967.Asas-asas Hukum Pidana Islam.Jakarta: Bulan Bintang.hal.,8
[3] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal.2004.Kaidah-kaidah Fiqh Jinayah(Asas-asas Hukum Pidana Islam).Jakarta: Pustaka Bani quraisy.hal.,163
[4] op cit.hal.,8
[5] DR.Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal.2004.Kaidah-kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam).Bandung: Pustaka Bani Quraisy.hal.,47
[6] Abd al-Qadir ‘Awdah.al-Tasyri’ al-Jina-I al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’I, Jilid II.Beirut: Muasasat ar-Risalah.hal.,213
[7] Ibid.hal.,213
[8] DR.Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal.op cit.hal.,165
[9] Abd al-qadir al-‘Awdah.op cit.hal.,214
[10] DR.Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal,loc cit
[11] Abd al-qadir al-‘Awdah.loc cit.
[12] DR.Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal,op cit.hal.,167
[13] Abd al-qadir al-‘Awdah.hal.,215
[14] Ibid,hal.,217
[15] Ibid.
[16] Ibid,hal.,218
[17] Ibid.
[18] Ibid.hal.,219
[19] Abd al-Qadir al-‘Awdah.2008.Ensiklopedi Hukum Pidana Islam.Jakarta: PT. Kharisma Ilmu.hal.,32
[20] Ibid.hal.,32
[21] Ibid.hal.,33
[22] Ibid.
[23] Ibid.hal.,34
[24] Ibid.hal.,64
[25] Ibid.hal.,65