Lingkungan dan Kearifan Lokal

LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Hukum Lingkungan  Jurusan Hukum Pidana Islam Smester IV (Empat)








Nama:
Neneng Fitria Nurhasanah (208 301 280)





FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
BANDUNG
2010



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, perkembangan kebutuhan manusia akan kehidupan memacu pesatnya kemunculan industri-industri yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelestarian lingkungan hidup. Berbagai masalah muncul ketika pesatnya perindustrian tidak diimbangi dengan penjagaan, pelestarian dan pengelolaan lingkungan yang baik dan berkesinambungan. Permasalahan tersebut nampaknya telah menjadi issu dunia yang tidak boleh dianggap sepele. Berbagai cara dilakukan manusia yang sudah kepalang tanggung merusak keseimbangan lingkungan dalam upaya untuk memulihkan kelestarian lingkungan. Berbagai konfrensi tingkat dunia dilakukan dalam upaya pemulihan kembali lingkungan yang mulai rusak dan kehilangan keseimbangannya, yang ditandai dengan adanya konfrensi stockholm 1972, dan lahirnya berbagai piagam yang mengatur larangan-larangan pengrusakan lingkungan atau eksploitasi lingkungan.
Empat puluh tahun terakhir cara pandang terhadap lingkungan berubah. Pada tahun 1960-an masalah lingkungan hanya dipandang sebagai masalah lokal, pencemaran udara di perkotaan, masalah limbah industri dan lain sebagainya. Pada tahun 1970-an masalah lingkungan baru dianggap masalah global, seperti hujan asam, kerusakan lapisan ozon, pemanasan global dan perubahan iklim. Pada tahun 1980-an timbul kesadaran bahwa permasalahan lingkungan global dapat mempengaruhi perekonomian. Barulah di tahun 1990-an muncul kesadaran masyarakat akan perlunya suatu alat analisis yang objektif untuk menilai kinerja operasional perusahaan terhadap lingkungan.
Melihat dampak yang terjadi akibat tidak seimbangnya lingkungan di dunia, manusia mulai menyadari bahwa betapa pentingnya melestarikan lingkungan. Dari mulai usaha komersil hingga usaha yang memang benar-benar murni untuk menjaga keseimbangan alam. Namun, dibalik kesadaran tersebut ternyata telah ada golongan masyarakat yang lebih dahulu memahami dan mengembangkan cara pelestarian dan penjagaan lingkungan melalui komunikasi adat yang telah dibangun sejak lama. Bukan dalam tahap mengobati (surpassing) atau memulihkan (recovering) melainkan masih dalam tahap pencegahan (prevention) dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Cara pelestarian yang hidup dalam masyarakat adat ini dalam undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang disebut dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal dalam teks perundang-undangan merupakan salah satu hal yang harus menjadi pertimbangan penting dalam mengadakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, karena sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat lokal justru telah jauh lebih memahami mengenai perlindungan lingkungan yang tampak melalui simbol-simbol adat yang nyata dan mampu dipahami secara logis.
Tak henti sampai di situ, permasalahan lain muncul ketika undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan tidak berjalan dengan semestinya. Banyak pelanggaran yang terjadi baik yang datang dari orang perorangan ataupun dari badan hukum yang memiliki kepentingan. Hal ini amat erat kaitannya dengan sistem pengelolaan yang baik dan bebas dari KKN atau good governance.
Sebagai masukan dan inspirasi, nampaknya hal yang akan dibahas kemudian menjadi penting ketika bagaimana pemerintah yang diwakili oleh teks undang-undang mampu menjaga kelestarian lingkungan seperti yang diamanatkan UUD 1945 dengan memperhatikan kearifan-kearifan lokal sebagai sample dalam menjaga lingkungan dan mempertahankan keseimbangannya. Pemerintah dalam memahami cara masyarakat lokal dalam menjaga lingkungan sepatutnya dapat memahami konteks-konteks yang terkandung dalam cara komunikasi masyarakat adat sehingga dapat kita pahami bahwa yang dilakukan masyarakat adat adalah hal yang sangat urgent dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Pemerintah juga sepatutnya memahami simbol-simbol tersebut sebagai suatu sistem logis yang dapat diterapkan dalam perlindungan terhadap lingkungan di luar kehidupan masyarakat adat atau dalam tatanan kenegaraan.
Berbicara hukum adat, erat kaitannya dengan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum formil yang menjadi acuan dalam sistem hukum di Indonesia. Lalu, bagaimana Korelasi antara Islam dan adat dalam rangka menjaga lingkungan hidup dan keseimbangannya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah mati (Keringnya), dan Dia sebarkan di muka bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (al-Baqarah [2]:164)
Kata ‘langit dan bumi’, ‘malam dan siang’ menunjukkan bahwa dalam penciptaan seluruh isi dunia terdapat keseimbangan yang sepatutnya tidak boleh dan tidak bisa diganggu. Seluruh yang ada di dunia baik di darat dan di laut membawa berbagai hal yang berguna bagi manusia beserta keseimbangan lainnya yang harus dijaga oleh manusia sebagai Kalifah di dunia. Dan air sebagain kehidupan bagi manusia dan segenap makhluk hidup lainnya merupakan hal yang sangat wajib untuk dijaga.
Singkatnya, bagaimana Islam dan aturan adat menjaga kelestarian lingkungan dan hubungan hukum Nasional dalam mengelola dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang menjadi tempat hidup bagi manusia dansegenap makhluk hidup lainnya.

B.     Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penyusunan makalah penelitian ini, maka diperlukan adaya perumusan masalah agar masalah yang dibahas dapat tetap terfokus dan tidak keluar dari jalur pembahasan. Untuk itu, maka dihimpunlah beberapa pertanyaan yang hendak dicari pemecahannya, sebagai berikut:
1.      Bagaimana Undang-undang No.32 Tahun 2009 mengatur perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup?
2.      Bagaimana kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat mampu mengatur pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup?
3.      bagaimanakah Islam mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup?

C.     Tujuan Penelitian

Mengingat masalah lingkungan hidup yang mulai krisis, maka penyusun menilai bahwa amat pentingnya mempelajari kearifan lokal sebagai salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, maka penyusunan makalah penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari dan membandingkan bagaimana penjagaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh masyarakat adat dan masyarakat perkotaan dan untuk mengetahui kearifan apa saja yang terkandung dalam perlindungan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat adat, guna mengembalikan kesadaran manusia tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup.
Disamping tujuan di atas, penyusunan makalah penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah Hukum Lingkungan semester IV pada Jurusan Hukum Pidana Islam. Selain itu pula penyusun berharap agar dengan disusunnya makalah ini dapat memberi motivasi dan kesadaran khususnya pada diri penyusun sendiri untuk tetap menjaga lingkungan hidup beserta seluruh yang ada di dalamnya sebagai suatu nikmat dan amanat Allah yang harus kami jaga.











 













PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN MENURUT AMANAT UU NO. 32 TAHUN 2009, KEARIFAN LOKAL DAN ISLAM.




















BAB III
KEARIFAN LOKAL
Arif adalah suatu istilah bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Melayu. Biasanya secara kontekstual istilah arif disepadankan maknanya dengan istilah-istilah tahu, mengetahui, cerdik-pandai, bijaksana, berilmu, dan pandai dalam banyak hal (Puwadarminto, 1984). Karena itu kearifan (wisdom) dapat disepadankan pula maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian, berilmu, dan bijaksana dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangansuatu masalah atau serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit.[1]
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan beraneka ragam kebudayaan yang hidup di dalamnya. Berdasarkan latar belakang bahasa, di Indonesia sekurang-kurangnya terdapat 555 kelompok bahasa.[2] Kemajemukan tersebut menjadi pendorong dan penggerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kearifan tersebut dikembangkan dan direalisasikan, dipahami dan dijadikan pedoman secara turun temurun.
Dalam keberadaan masyaakat lokal, menjadi asas dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di dalam undang-undang. Kearifan lokal sebagai salah satu hukum tidak tertulis menjadikan alam atau lingkungan mereka sebagai seperangkat undang-undang yang amat ditaati dalam kehidupan mereka.
Masyarakat adat menjadikan wilayah sebagai prioritas utama dalam mengelola lingkungan. Dan penentuan wilayah tersebut didasarkan pada DAS atau daerah aliran sungai. Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dalam masyarakat adat berinti pada tiga hal, yang pertama, tata wilayah, kedua, tata wayah, dan ketiga, tata lampah.[3]
Berdasarkan tata wilayah, masyarakat adat membuat batasan-batasan wilayah dan peruntukannya, sebagai berikut:
  1. Leuweung Larangan atau Leuweung Titipan. Leuweung dalam masyarakat adat disebut sebagai wilayah atau kawasan. Kawasan ini merupakan kawasan yang tidak boleh diubah atau diganggu dari keadaan alaminya. Fungsi leuweung larangan ini adalah sebagai pemenuhan kebutuhan batin bagi masyarakat tersebut, seperti ketenangan, kebahagiaan. Rusaknya kawasan ini dianggap sebagai bencana karena dengan rusaknya kawasan tersebut, akan mengganggu keseimbangan alam dan rusaknya kehidupan manusia. Oleh sebab itu kawasan tersebut tidak boleh diganggu oleh kegiatan apapun.
  2. Leuweung Tutupan. Merupakan kawasan yang mulai boleh dimanfaatkan namun secara terbatas atau sementara. Kawasan ini sebagai hutan cadangan, perlindungan atau penyangga.
  3. Leuweung baladahan/ bukaan/ garapan. Kawasan selanjutnya ini merupakan kawasan yang pemanfaatannya dapat diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan fisik atau bahkan kebutuhan komersil. Misalnya dijadikan kebun atau pemukiman.
Perlindungan yang dilakukan masyarakat adat adalah dengan meninggalkan kawasan tersebut. Jika leuweung larangan rusak, maka masyarakat akan meninggalkan kawasan tersebut dan membiarkannya pulih secara alami, bukan dengan reboisasi atau pemulihan jenis lainnya. Karena masyarakat tidak menghendaki adanya campur tangan manusia dalam pemulihan kawasan tersebut. Perlindungan tersebut tentu memiliki maksud yang dapat ditelaah dengan logika. Misalnya, masyarakat melarang adanya campur tangan manusia ketika terjadi kerusakan hutan. Mengambil satu komponen saja dalam hutan tersebut dianggap akan merusak keseimbangan lingkungan, bahkan mengambil daun kering yang gugur saja tidak dibolehkan. Menyentuh yang dimaksud adalah misalnya dengan membersihkan hutan daru daun-daun yang berguguran. Hal initidak boleh dilakukan karena daun-daun yang berguguran dapat menjadi sumber energi atau pupuk alami untuk menjaga kesuburan tanah dan energi bagi pepohonan yang ada disekitarnya, dan sebagai sumber makanan bagi makhluk yang hidup di dalamnya. Karena leuweung merupakan sumber genetik yang apabila rusak, dapat merusak kehidupan yang ada disekitarnya.
Cotoh lain dalam masyarakat petani tidak menetap adalah pembukaan lahan untuk pertanian. Masyarakat petani tidak menetap membuka lahan secara melingkar. Ketika lahan sebelumnya telah habis sumber dayanya, mereka membuka lahan baru dan meninggalkan lahan sebelumnya. Dengan meninggalkan lahan sebelumnya dimaksudkan untuk membiarkan lahan tersebut pulih secara alami sehingga kurang dari 25 tahun lahan tersebut telah pulih kembali secara alami.
Contoh logis lain adalah dengan apa yang terjadi pada masyarakat adat Banten Kidul atau Sirnaresmi. Masyarakat ini masih mempertahankan sistem pertanian tradisional.
Program revolusi hijau yang gencar dilakukan pada masa orde baru sekitar tahun 1970-an dengan programnya INMAS, INSUS, SUPRA INSUS, dan lain-lain. Desa sirnresmi menjadi salah satu desa yang menjadi sasaran program tersbeut. Pada awalnya kasepuha sirnaresmi menolak adanya program tersebut, namun dengan gencarnya introduksi yang dilakukan BPP (Balai Penyuluh Pertanian) masyarakat mulai tertarik.
BPP memperkenalkan sistem bertani dua kali tanam setahun dan penggunaan pupuk kimia serta pestisida dan insektisida sebagai pembasmi hama. Pada awalnya program tersebut memang meningkatkan produksi panen petani. Namun akibat yang ditimbulkan oleh pola tanam dua kali adalah sebagai berikut[4]:
  1. pola tanam dua kali ini ternyata menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan pupuk.
  2. Peningkatan biaya pupuk mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang sangat memberatkan petani.
  3. Varietas unggul yang ditawarkan ternyata tidak seunggul namanya dan sangat rentan dengan serangan hama.
  4. Pola keseimbangan alam terganggu, sehingga banyak sawah yang terserang hama penyakit karena ditanam pada waktu turunnya hama.
  5. Dengan banyaknya lahan yang diserang hama, produksi padi bukannya meningkat malah turun drastis.
  6. Harga gabah yang pada waktu musim panen raya turun drastis, sehingga menjual padi jelas sangat merugikan petani.
  7. Struktur tanah menjadi keras akibat penggunaan pupuk kimia.
  8. Pencemaran air oleh pestisida dan insektisida yang jatuh ke air, sehingga ikan yang biasanya ditanam tidak dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Akibat dampak buruk yang ditimbulkan, akhirnya masyarakan embali menggunakan sistem pertanian tradisional. Dengan pola tanam satu kali, unsur hara dalam tanah dapat dipertahankan. Mereka percaya bahwa program tersebut tidak sesuai dengan kondisi alam pertanian di sana. Mereka menyebutnya sebagai “Ibu bumi bapak langit” artinya, tanah diibaratkan sebagai seorang ibu, tanah yang sedang ditanami dianggap seperti ibu yang sedang mengandung. Sehingga bila tanah ditanami sebanyak dua kali setahun, maka sama artinya dengan menyuruh ibu mengandung sebanyak dua kali dalam setahun. Maka keadaan demikian sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dikandungnya. Dasar tersebut menjelaskan bahwa tanah yang ditanami dua kali setahun menyebabkan tanah tidak subur,karena dipaksa mensuplai hara, sehingga akan berpengaruh pada hasil tanamnya.
Sedangkan kegiatan pertanian tradisional didasarkan pada penentuan waktu dengan melihat petunjuk bintang yang dikalangan masyarakat sirnaresmi terdiri atas bintang kerti dan kidang yang dikenal sebagai guru desa. Berikut beberapa posisi bintang yang menentukan jenis pekerjaan petani[5]:
  1. Tanggal keuti kana beusi, tanggal kidang turun kujang, artinya petani harus sudah mempersiapkan alat-alat pertanian.
  2. Kidang ngarangsang ti wetan, kerti ngarangsang ti kulon atau kidang – kerti pahareup-hareup, yang artinya musim panas yang lama dan tanda untuk membakar ranting dan daun di HUMA (ngahuru)
  3. Kerti mudun matang mencrang di tengah langit, yang artinya saat menanam padi sudah tiba.
  4. Kidang medang turun kungkang, yang artinya saat menanam padi sudah tiba.
  5. Kidang medang turun kungkang,tanda turunnya hama dan penyakit yang akan menyerang padi.
  6. Kidang dan kerti ka kulon, yang berarti musim hujan akan datang.
Kesimpulan
Kesimpulan dari paparan di atas adalah masyarakat adat mengelola perlindungan lingkungan dengan mengetahui tata wayah atau penentuan waktu, tata wilayan atau penentuan wilayah, dan tata lampah atau cara berprilaku.
Dengan adanya penataan tersebut, manusia dapat menjaga perilakunya agar perilaku tersebut tidak berdampak pada kerusakan lingkungan. Membunuh satu komponen yang terdapat di alam dapat menyebabkan hilangnya keseimbangan alam yang dapat merusak sumber genetik yang tergantung di dalamnya. Sehingga dalam pertanian pun meskipun serangga sebagai hama merugikan produksi pertanian, mereka tidak membasmi hama dengan membunuhnya melainkan dengan menentukan waktu dimana dapat menghindari rusaknya tanaman padi akibat hama. Karena sekalipun hama merugikan, terdapat keseimbangan yang harus dijaga dari kehidupan hama tersebut. Oleh sebab itu kearifan ini pantas dijadikan dasar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, apalagi nyatanya sistem turun-temurun yang dikomunikasikan masyarakat adat melalui simbol-simbol itu bisa dibuktikan secara logis dan ilmiah.
Selain makna perlindungan dalam pengelolaan lingkungan versi kearifan lokal, tersirat bahwa tidak adanya unsur materialistis dalam pengelolaannya sehingga pemanfaatan lingkungan hidup dapat dipertanggungjawabkan secara bijaksana. Hal ini didasarkan pada perbedaan ideologi antara masyarakat adat lokal dan masyarakat yang telah mengenal kehidupan yang lebih kompleks. Masyarakat lokal mendasarkan pemanfaatan lingkungan sesuai kebutuhan, sehingga disamping mengambil SDA yang ada, mereka melindungi dan mengatur pemanfaatan agar kebutuhan mereka tetap terpenuhi untuk waktu yang lama. Sedangkan masyarakat modern cenderung mendasarkan pemanfaatan SDA atas dasar keinginan, sehingga seringkali tidak mempedulikan akan kebutuhan batiniah kelak.




























DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim
Azzyumardi Azra.2005.Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani Cet. 2 Tim ICCE UIN Jakarta. Jakarta: Kencana.
Harjo.1984. Pengantar Antropologi cet ke -5.Jakarta : Bina Cipta
J.Mukono.2005.Taksiologi Lingkungan. Surabaya : Airlangga
Kementerian Lingkungan Hidup.2003.Bunga Rampai Kearifan lingkungan edisi ke -3.Jakarta: Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengembangan Peran Masyarakat.
Panduan Eko Wisata Taman Nasional Gunung Halimun Kampung Ciptarasa.2003.Penerbit: Biodiversity Conservation Project – Japan International Coorporation Agency (BCP-JICA). Sumber: Abah Anom, Ki Aat, H. Apud,      Pak Oo dan Masyarakat Desa Sirnarasa.
UU No. 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Zoer’aini Djamal Irwan.2008.Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota.Jakarta : Bumi Aksara

Sumber Lain:
            Rahmat Kurnia, SS. Anggota Komunitas Peduli Lingkungan Hidup Bela Alam Nusantara (KPLH Belantara)/ LSM Lingkungan yang berbasis Kearifan Budaya


[1] Kementerian Lingkungan Hidup.2003.Bunga Rampai Kearifan Lingkungan edisi ketiga.Jakarta: DEPUTI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP BIDANG PENGEMBANGAN PERAN MASYARAKAT.,hal,1
[2] Ibid.,hal,4
[3] prioritas perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan masyarakat adat daerah pasundan, misalnya, Baduy, Kampung naga, Cipta gelar, Banten kidul dan lain sebagainya. Sumber: Rahmat Kurnia, SS. Anggota komunitas peduli lingkungan hidup Bela Alam Nusantara (KPLH Belantara)/ LSM Lingkungan yang berbasis Kearifan Budaya
[4] Ibid.,hal,787-788
[5] Ibid.,hal,781