Hukum Dagang


BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia yang semakin cepat semakin pula mengharuskan setiap manusia untuk menselaraskan diri dalam perkembangan tersebut. Permasalahan tersebut semakin membuat masalah yang muncul menjadi semakin kompleks yang jika manusia tidak mampu menyesuaikan diri tentulah akan tertinggal. Perkembangan tersebut tidak terjadi hanya dalam satu aspek saja, melainkan diberbagai aspek kehidupan yang tanpa disadari dan tanpa dikehendaki pun perubahan tersebut terjadi. Untuk mengatasi berbagai kendala yang pasti muncul dari perubahan zaman tersebut. Maka perlu adanya aturan yang lebih fleksibel yang dapat mengatur dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Perkembangan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan ini dipicu semakin terbuka lebarnya akses informasi yang mudah dan efisien yang juga dapat diakses dimanapun serta kapanpun. Media informasi yang saat ini sedang berkembang di Indonesia salah satunya adalah internet. Internet selain digunakan sebagai media informasi dan pendidikan juga berkembang menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Tak sedikit pengusaha yang mengembangkan bisnisnya melalui internet. Karena pemasaran melalui media ini dianggap lebih efektif dan efisien serta hemat biaya dan pangsa pasarnya pun lebih terbuka luas.
Cara memasarkan produk dan bertransaksi lewat internet bisa dilakukan antara penjual dan pembeli dimana saja dan kapan saja. Disini pelaku dagang tidak perlu memiliki sebuah Toko besar layaknya Toko Konvensional seperti yang kita lihat dipasar ataupun di pusat pertokoan, Disini cukup dengan menawarkan Produk tersebut di sebuah Website / Forum Komunitas / Mail Group / Bahkan disebuah Blog yang Gratis sekalipun produsen sudah dapat memamerkan produk apa yang akan dijual, dan memberikan akses kontak kepada pembeli seperti nomor telepon atau alamat yang bisa dihubungi, sehingga para pembeli yang berminat, dapat menghubungi produsen, atau langsung menuju tempat alamat yang di maksud penjual, dan jika terjadi kecocokkan, maka transaksi bisa segera terlaksana.
Namun pada kenyataannya, perdagangan semacam ini memiliki resiko yang sangat merugikan tidak hanya bagi onsumen melainkan bagi pedagang juga. Resiko yang terjadi misalnya adalah penipuan ataupun tidak sesuainya barang yang dipesan dengan barang yang dikirim kepada pihak konsumen atau ketika kerugian atau penipuan terjadi pada pihak si penjual dimana dana atau pembayaran tidak dikirim oleh pembeli sementara barang telah dikirim ke alamat yang diperjanjikan. Permasalahan seperti ini menjadi sebuah ironi ketika tidak mendapat pengaturan yang serius yang dapat melindungi pihak penjual maupun pembeli.
Permasalahan yang muncul ketika jual-beli jenis ini tidak mendapat pengaturan dan pengawasan dari pemerintah disamping dipihak penjual dan pembeli, tentu hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap perdagangan melalui media internet ini yang tentu akan menyebabkan para pengusaha yang menggantungkan pemasaran barang memalui internet mengalami kerugian. Dari factor-faktor tersebut, maka jual beli online ini amat penting untuk dibahas, agar konsumen dan produsen lebih berhati-hati terhadap jual beli online yang bersifat fiktif.

  1. Pokok Permasalahan
Dari pemaparan di atas terdapat beberapa pokok permasalahn yang menjadi focus utama dalam penulisan makalah ini, antara lain :
1.        Jual-beli merupakan kegiatan pertukaran barang antara konsumen dengan produsen. Namun seperti apakah pengertian jual beli secara umum?
2.        Seiring perkembangan zaman dan mudahnya akses melalui media informasi, perdagangan atau secara khusus jual-beli berinovasi melaui media tersebut khususnya internet. Lalu apakah yang dimaksud dengan jual-beli online atau yang umum disebut e-commerce?
3.        Realita yang terjadi, muncul berbagai permasalahan dari jual-beli online ini, sehingga muncul pula istilah jual-beli online fiktif. Apakah yang dimaksud dengan jual-beli online fiktif ini?
4.        Dari berbagai kasus yang terjadi dalam jual-beli online ini, tentu menjadi suatu keharusan adanya peraturan yang mengatur e-commerce ini agar dapat melindungi pihak-pihak yang melakukan akad jual-beli tersebut. Bagaimana apabila dalam hal ini pihak konsumen yang dirugikan? Apakah Undang-undang tentang perlindungan konsumen dapat menjadi dasar bagi perlindungan konsumen yang menjadi korban jual-beli online fiktif ini?
5.        Dari kasus yang sama yang terjadi dalam jual-beli online ini, tentu menjadi suatu keharusan adanya peraturan yang mengatur e-commerce ini agar dapat melindungi pihak-pihak yang melakukan akad jual-beli tersebut. Jika jual-beli online fiktif ini merupakan penipuan baik di pihak penjual atau pembeli, apakah pelaku akan dijerat dengan KUHP, atau hanya dalam perkara perdata saja, serta bagaimana aspek hukum-hukum tersebut mengaturnya?

  1. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa akan menjadi sebuah ironi jika jual-beli online yang bersiat fiktif ini tidak diatur secara khusus oleh aturan perundangan, karena sadar atau tidak jual-beli online fiktif dapat merugikan banyak pihak dengan tingkat kerugian yang tidak sedikit. Dan perlu pula disadari bagi pihakpihak pelaku bisnis online agar senantiasa berhati-hati dalam bertransaksi di internet. Hal ini bukan semata-mata memberi stigma negative tentang jual-beli online fiktif melainkan memberika wawasan mengenai pemasalahan yang terjadi sehingga setiap pelaku bisnis online atau e-commerce dapat lebih waspada ketika menjual atau membeli barang lewat transaksi online.
Oleh sebab itu penulisan makalah ini dirasakan cukup penting selain untuk memberikan gambaran umum tentang masalah yang muncul juga agar dapat diketahui bagaimana aturan perundangan mengatur masalah tersebut agar pihak-pihak yang awam dalam hukum dapat mengetahui bagaimana penyelesaian perkara penipuan dalam jual-beli online fiktif melalui proses hukum yang berlaku.
Selain itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah Hukum Dagang pada Jurusan Hukum Pidana Islam semester VI juga memberi wawasan khususnya kepada penulis tentang jenis-jenis atau model perdagangan yang telah banyak mengalami perkembangan.



























BAB II PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA

  1. Pengertian Jual-Beli secara Umum
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta. Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian "fasilitas" dan "kenikmatan", agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah.[1]
Istilah jual beli terdiri dari dua kata yang memiliki makna yang bertolak belakang. Kata jual menunjukkan adanya perbuatan menjual, sedangkan beli berarti adanya perbuatan membeli. Dalam jual beli menunjukkan adanya 2 perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli. Maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli. Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.
Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli." Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.[2] Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.[3]
Dari pengertian tersebut, jual beli memiliki banyak macam yang diklasifikasikan ke dalam tiga bagian[4], antara lain :
1.      Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan
Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli barter. Yakni menukar barang dengan barang.
2.      Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
Jual beli jika dilihat dari cara standarisasi harga ada tiga jenis, pertama: Jual beli Bargainal (tawar-menawat) dengan tidak memberitahukan nilai modal barang yang dijual. Kedua : jual beli amanah, yakni modal dari nilai barang diberitahukan. Dan ketiga : jual beli lelang.
3.      Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:
1)                  Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
2)                  Jual beli dengan pembayaran tertunda.
3)                  Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4)                  Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
Dari berbagai macam jenis jual-beli maka lahirlah berbagai aturan mengenai jual beli sehingga jual-beli menjadi suatu perbuatan yang sah dan diperbolehkan menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Secara umum, perdagangan sendiri dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya baik dari segi objek maupun subjek dari jual beli tersebut. Jual beli dikatakan sah bila barang yang diperjualbelikah bukan barang yang dilarang hukum serta jual beli akan sah jika pelaku jual beli telah cakap hukum atau telah mampu mempertanggungjawabkan perbuatan hukumnya tersebut.
Sekalipun dalam realitanya perdagangan banyak melakukan inovasi dan perubahan, pada dasarnya jual-beli adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum yang baru, dimana barang yang dipindah tangankan tersebut tentu akan berpindah tanggungjawab hukumnya kepada pembeli atau pemilik selanjutnya. Lalu bagaimana jika dalam pelaksanaan perdagangan yang semakin berkembang ini memicu terjadinya tindak pidana yang dapat merugikan banyak pihak sebagaimana yang marak terjadi saat ini di dunia maya. Perdagangan lewat dunia maya merupakan cara transaksi perdagangan yang baru dan masih terdengar sedikit asing bagi sebagian kalangan. Meskipun peluang usaha terbuka lebar, namun tidak menutup terjadinya pelanggaran hukum di dalamnya. Hal ini perlu membuka wacana masyarakat dalam realitas perdagangan yang lebih kompleks agar perkembangan dunia perdagangan ini senantiasa di dukung dengan pengetahuan yang cukup tentang virtual store ini. Oleh sebab itu jual beli melalui media internet merupakan hal yang cukup hangat untuk diperbincangkan saat ini.

  1. Pengertian dan Jenis-jenis Transaksi Electronic Commerce
1.  Pengertian E-Commerce
Electronic Commerce atau disingkat e-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), service providers, dan pedagang perantara (intermediaries) dengan mengunakan jaringan-jaringan komputer (computer networks), yaitu Internet. E-commerce sudah meliputi seluruh spektrum kegiatan komersial. E-commerce merupakan bidang yang multidisipliner (multidiscip linary field) yang mencakup bidang-bidang teknik seperti jaringan dan telekomunikasi, pengamanan, penyimpanan dan pengambilan data (retrieval) dari multi media; bidang-bidang bisnis seperti pemasaran (marketing), pembelian dan penjualan (procurement and purchasing), penagihan dan pembayaran (billing and payment), dan manajemen jaringan distribusi (supply chain management); dan aspek-aspek hukum seperti information privacy, hak milik intelektual (intellectual property ), perpajakan (taxation), pembuatan perjanjian dan penyelesaian hukum lainnya. [5]
Menurut World Trade Organization (WTO), cakupan e-commerce meliputi bidang produksi, distribusi, pemasaran, penjualan dan pengiriman barang dan atau jasa melalui elektronik, sedangkan OECD (Organization For Economic Cooperation and Development) menjelaskan bahwa e-commerce adalah transaksai berdasarkan proses dan transmisi data secara elektronik. Selain dari dua lembaga internasional tersebut, Ade Maman Suherman dalam bukunya  yang berjudul Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global mengatakan, Alliance for Global Business, suatu asosiasi di bidang perdagangan terkemuka mengartikan e- commerce sebagai seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer informasi, produk, jasa atau pembayaran melalui jaringan elektronik sebagai media.
Kalakota dan Whinston mendefinisikan E-Commerce dari beberapa perspektif, yaitu:[6]
1)      Dari perspektif komunikasi, E-Commerce adalah pengiriman informasi, produk/jasa, atau pembayaran melalui jaringan telepon, atau jalur komunikasi lainnya;
2)      Dari perspektif proses bisnis, E-Commerce adalah aplikasi teknologi menuju otomatisasi transaksi bisnis dan work flow;
3)      Dari perspektif pelayanan, E-Commerce adalah alat yang digunakan untuk mengurangi biaya dalam pemesanan dan pengiriman barang; dan
4)      Dari perspektif online, E-Commerce menyediakan kemampuan untuk menjual dan membeli produk serta informasi melalui internet dan jaringan jasa online lainnya.
Oleh karena itu, Julian Ding mengatakan dalam bukunya e-commerce: Law & Practice, yang mengemukakan bahwa e-commerce sebagai suatu konsep tidak didefinisikan. E-commerce memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Hal itu seperti kita mendefinisikan seekor gajah, yaitu tergantung dari di bagian mana dari gajah itu kita lihat atau pegang, maka akan berbeda pula definisi yang dapat diberikan.[7]
a)      Jenis-Jenis Transaksi E-Commerce
Dalam e-commerce ada bermacam-macam jenis transaksi yang terjadi apabila dilihat dari hubungan subyek atau pelakunya diantaranya[8]:
1)      Business to business ( B2B ) , model transaksi e-commerce ini banyak digunakan sekarang. Hal ini meliputi Interorganizational System (IOS) transaksi dengan segera dari transaksi pasar elektronik antar organisasi
2)      Business to consumer ( B2C ) , transaksi retail dengan pembelanjaan (Shopper) individu. Bentuk pembelanjaan seperti ini dalam bentuk virtual store yang dapat kita lihat di Amazon.com adalah konsumen atau costumer.
3)      Consumer to consumer ( C2C ), dalam kategori ini konsumen menjual dengan langsung untuk konsumen. Contohnya adalah individu menjual yang diklasifikasikan ada (e.q.www.clasified2000.com) pemilikan kediaman (residential property), mobil dan lain sebagainya. Pengiklanan jasa personal pada internet dan menjual ilmu pengetahuan dan keahlian contoh lain dari C2C. Beberapa situs pelelangan(auction) membolehkan individu untuk meletakkan item. Pada akhirnya banyak individu menggunakan internet dan jaringan organisasi internal lainnya ke pelelangan item untuk penjualan atau pelayanan.
4)      Consumer to business (C2B), kategori ini meliputi individu yang menjual produk atau jasa untuk organisasi. Selama individu yang menjual mempengaruhi(interact) dengan mereka dan penutupan transaksi.
5)      Nonbusiness e-commerce, meningkatkan sejumlah lembaga nonbisnis seperti; lembaga akademi, organisasi non profit, organisasi keagamaan, organisasi social, dan agen pemerintahan menggunakan bentuk e-commerce akan mereduksi pembiayaan mereka atau memperbaiki operasional mereka dan pelayanannya.
6)      Intrabusiness organizational e-commerce, dalam kategori ini meliputi semua kegiatan organisasi internal, biasanya berupa internet.

Pada prakteknya model transaksi yang banyak dipakai oleh user konsumen sampai saat ini adalah model Business to Business (B2B) dan Business to Consumer (B2C)[9]. B2B adalah transaksi, merupakan sistem komunikasi bisnis on-line antar pelaku bisnis. Para pengamat e-commerce mengakui akibat terpenting adanya sistem komersial yang berbasis web tampak pada transaksi Business to Business. Sedangkan B2C merupakan transaksi jual-beli melalui internet antara penjual barang dengan konsumen (end user). Business to Consumer relatif banyak ditemui dibandingkan dengan Business to Business.
Kedua model transaksi e-commerce ini mempunyai ciri dan karakteristik masing-masing. Dalam transaksi B2B cirinya para pelakunya adalah pengusaha-pengusaha baik pribadi hukum maupun badan hukum dan para pelaku tersebut bukanlah end-user dari produk atau obyek e-commerce itu sendiri.
Dalam B2B ini transaksi yang terjadi bukan hanya jual beli, namun dapat berupa konsinyasi ataupun hanya pertukaran data atau dokumen-dokumen perdagangan (misalnya Electronic Data Interchange/EDI). Sementara dari segi karakteristik B2B mempunyai karakteristik sebagai berikut.

1)      Trading partners yang sudah diketahui dan umumnya memiliki hubungan (relationship) yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena sudah mengenal lawan komunikasi, maka jenis informasi yang dapat disusun sesuai kebutuhan dan kepercayaan (trust).