NABILA



Malaikat Kecil
Selasa nampak tak bersahabat. Hujan turun dengan deras di saat matahari seharusnya muncul mengiringi kicauan burung. Hari yang diharapkan ramah ternyata menampakkan keangkuhannya. Sedikit demi sedikit air menetes dari langit seolah tak mau peduli akan harapan yang sebentar lagi muncul. Burung-burung berhenti meneriakkan keriangannya dan bersembunyi dibalik rindangnya dedaunan seolah menunjukkan ketakutannya akan amarah sang langit. Dingin perlahan menelusup melewati setiap lubang pori mereka yang hidup, seraya menyampaikan pesan kekakuan ke dalam hati semua makhluk. Rumput masih bergoyang riang mengikuti irama angina seolah menyampaikan harapan bahwa seketika itu cahaya kehangatan kan datang menyergap bumi.
Petir bergemuruh beradu kekuatan, di satu sudut ia menggelegar mengagetkan telinga, di sisi lain ia bergemuruh lebih kuat seolah ingin menunjukkan keganasannya. Ditengah gemuruh petir di dalam sebuah rumah yang sederhana dan hangat tergeletak lemah seorang wanita muda yang sangat cantik tengah merintih merasakan getaran kuat yang muncul dari arah rahimnya. Dia menangis menahan rasa sakit yang seolah akan membunuhnya seketika. Asih nama wanita itu, ia terus mengerang kesakitan ditemani dua orang anaknya yang usianya belum genap sepuluh tahun. Anak Asih terdiam melihat keadaan ibunya yang sedang menahan sakit, Leny dan Ryan seolah benar-benar tidak tau harus berbuat apa selain menghubungi ayah mereka lewat telepon milik Bu Dede tetangga mereka. Itu pun sudah mereka lakukan. Asih merintih pelan sambil menggigit bibirnya seolah ingin berkata pada Leny dan Ryan agar tetap tenang. Asih tetap sabar menunggu kehadiran suaminya yang ia harapkan segera datang walau harus menembus hujan yang sangat deras. Asih berharap agar malaikat kecil yang ia tunggu selama 9 bulan dapat terlahir di tempat yang layak dengan pertolongan yang tepat. Asih semakin lemah, tubuhnya yang lelah menahan sakit hanya bisa terbaring ditemani kedua anaknya, menunggu suaminya untuk segera datang.
Hujan masih deras, seolah tidak memberi ampun bahkan untuk seorang wanita yang hendak melahirkan. Ditengah hujan lebat seorang pria hampir setengah baya nekat menerobos hujan yang tak mau berbelas kasih pada istrinya. Pria berkumis dan sedikit janggut itu melaju dengan kecepatan vespa tua yang sebenarnya sudah tak pantas digunakan. Ia mengerutkan keningnya seolah hendak marah pada vespa tua yang ia kendarai karena tak mampu melaju cepat di saat istrinya dalam keadaan darurat. Kemeja putihnya basah kuyup disiram hujan, tatapannya tajam seolah tujuannya benar-benar ada dihadapannya. Pria itu bernama Narendra, ayah dari dua orang anak dan satu malaikat kecil yang sedang ia tunggu kelahirannya. Narendra hampir sampai ke sebuah rumah yang kecil berwarna putih. Ia mematikan vespa tuanya dengan taksi yang mematikan mesin mobilnya tepat di depan pagar rumah itu. Rendra bergegas menuju tempat istrinya yang sedang menunggunya, ia merengkuh tubuh istrinya yang sudah kelelahan menunggu. Nafas Asih pelan, tubuhnya memucat, Rendra mencium Ash dengan lembut seolah ingin menguatkan Asih yang hampir kehabisan tenaga. Air mata Rendra tumpah seketika melihat kondisi Asih. Rendra hanya berharap bisa sampai ke rumah sakit  secepatnya agar Asih istrinya dan malaikat kecil yang ia tunggu segera tertolong. Rendra menggendong Asih sedikit tergesa-gesa membawanya masuk ke dalam taksi, sementara Leny dan Ryan menunggu di rumah dengan kecemasan mereka.
Taksi berwarna putih berpolet merah melaju kencang dibawah derasnya hujan, mengantarkan nyawa seorang ibu dan anak yang tengah dikandung menuju ruang pertolongan. Rendra memeluk istrinya seolah ia ingin agar istrinya membagi rasa sakitnya padanya. Asih mengedipkan matanya, menghela nafas dengan sangat pelan. Asih kesakitan walau rasa sakit yang dirasakannya tersimpan harapan yang manis. Bayangan bayi mungil yang telah ditunggunya selama 9 bulan melenyapkan sebagian rasa sakitnya. Boneka pelipur kepedihan yang telah mereka nantikan segera akan muncul. Keduanya tersenyum bersamaan melepas rasa gelisah yang mereka rasakan.
Gedung berwarna putih dan hijau telah nampak dihadapan mereka, Rendra dan supir taksi membantu membawa Asih ke ruang persalinan dengan segera. Wanita-wanita berseragam putih bergegas menghampiri Asih yang sudah benar-benar kelelahan. Asih dibawa ke ruang persalinan, sementara bidan dan suster menyiapkan perlengkapan medis untuk menolong Asih. Sementara Asih berjuang melawan maut demi sang malaikat dambaannya, Renda menunggu di luar ruangan sambil melipat kaki dan mengerutkan keningnya. Rasa bahagia menanti sang buah hati bercampur dengan kekhawatiran tentang keadaan istrinya. Waktu terasa berdetak lamban menemani kegundahannya, ia melihat ke arah ruang bersalin sesekali melihat keadaan istrinya, meskipun ia tak bisa melihat isi ruangan yang tertutup tirai putih. Rendra berjalan ke kanan dan ke kiri seolah ingin menunjukkan pada seisi rumah sakit bahwa ia sedang gelisah.
Seorang wanita muda keluar dari balik pintu, dengan pakaian putih bersih yang dikenakannya. Wanita itu menyunggingkan bibirnya sambil melihat ke arah Rendra. Dengan mata yang berkilau wanita muda itu memperlihatkan kelembutan tutur katanya kala ia menyampaikan kabar yang dibawanya dari balik pintu tempat ia keluar. Bibir wanita berparas manis itu terbuka perlahan seolah hendak menyampaikan sebuah kejutan yang akan sangat mengejutkan seorang laki-laki bertubuh tegap yang ada dihadapannya. Suster Dias menyampaikan kabar gembira dengan ramah bagaikan memberi semangat kepada Rendra yang hamper kelelahan menanti sang malaikat kecilnya.
“Bapak Narendra.” Sahut Suster berkulit putih bersih itu.
“iya, suster. Bagaimana keadaan istri dan anak saya?” Tanya Rendra sedikit mendesak.
Senyum simpul terlukis di wajah suster Dias seraya matanya membentuk  bulan sabit yang tertidur, mata yang ia buat sedikit tertutup sehingga menunjukkan pada Rendra bahwa tak ada yang patut ia cemaskan. Rendra tak sabar untuk segera menemui wanita tinggi semampai yang sedang terbaring di kasur rumah sakit, dengan sedikit berlari Rendra menuju ruangan bersalin tempat istrinya berada. Seolah tak ada dinding dan tak ada seorangpun diruangan tersebut melainkan hanya Rendra dan Asih yang sedang terbaring. Rambut Rendra yang sedikit ikal terkibar angina kecil ketika ia berlari menuju tempat istrinya. Keningnya dikerutkan, tangannya ia kepal seolah akan meninju seseorang. Dihadapannya telah terbaring seorang wanita cantik yang sangat iangin ia temui sejak tadi wanita itu masuk ke ruang bersalin.
Asih mendengar langkah kaki Rendra yang agak keras, dengan segenap tenaga yangmasih tersisa, Asih menoleh ke arah suara itu datang. Didapatinya seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan rambut agak ikalnya yang mulai berantakan. Penampilannya hamper kacau, bajunya yang basah akibat hujan mulai mongering namun Rendra masih terlihat kacau karena raut wajahnya masih menunjukkan kecemasan yang luar bisa. Asih menyunggingkan senyum kepada pria yang ada di hadapannya, hendak mengatakan bahwa tak ada satupun yang patut dicemaskan. Asih ingin menunjukkan habwa ia berhasil melewati perjuangan seorang ibu menghadapi maut demi sang malaikat kecilnya. Dan malaikat kecil itu kini telah terlahir dengan sempurna.
Rendra bergegas mendekatkan tangannya ke ubun-ubun istrinya, ia mendekatkan pula wajahnya menuju wajah istrinya. Ia cium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, ia rengkuh tubuh istrinya dan tanpa disadari air mata bahagia Rendra dan Asih mengalir lembut diwajah mereka. Menangis dalam limpahan rasa syukur yang tiada terhingga. Di balik rasa sakit yang tak terhingga yang akhirnya di balik semua itu mereka temukan limpahan anugerah yang mungkin tak bisa dirasakan pasangan lain di dunia meskipun mereka sama-sama memiliki pasangan. Asih pun mengenggam tangan Rendra, bibirnya mendekati telingan Rendra, ia bisikan sejuta syukur atas kehadiran buah cinta mereka dari sang Khalik.
“Alhamdulillah, perjuangan kita tidak sia-sia, malaikat kecil kita telah lahir. Ini buah kasih Allah atas pengabdian kita. Tak ada kebahagiaan yang dapat menandingi nikmatnya ini. Terimakasih saying, telah menemaniku dan menguatkan aku saat menghadapi masa bersalin. Terimakasih karena kau tak pernah bosan mendampingiku. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dan keturunan kita, dan semoga kita selalu berada dalam keridhoannya.”
Dalam heningnya syukur yang dipanjatkan kedua insan itu, terdengar suara langkah kaki yang pelan namun jelas. Suara langkah kaki tersebut memecah keheningan. Asih dan Rendra pun melihat ke arah suara tersebut. dilihatnya seorang perempuan muda datang dari arah pintu dengan senyum yang manis dan seorang bayi di pangkuannya. Rendra dan Asih tersenyum, raut wajah sumringah terlihat jelas di wajah mereka. Asih tersenyum lebar tak sabar ingin memeluk bayi itu. Disodorkanlah bayi itu kepangkuan Asih, asih memeluknya dengan lembut, mencium keningnya, dan ditatapnya dalam-dalam wajah bayi perempuan yang ada dipelukannya. Mata Asih mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah tak kuasa menahan gumpalan rasa syukur yang ingin di panjatkannya. Asih menatap wajah cantik bayi itu dan air matanya kembali tumpah membasahi pipinya yang bersih. Disentuhnya jemari kecil yang baru ia lahirkan, diciuminya kulit tipis nan lembut yang baru ia sentuh. Hanya satu kata yang ingin diungkapkan Asih. Pujian yang tidak terhingga atas kebesaran Allah atas kehadiran bayi itu. “Allahu Akbar”.
***
Beberapa hari Asih habiskan di rumah sakit, sampai akhirnya Asih baru diperbolehkan pulang. Namun kenyataannya berbeda ketika Asih diperintahkan untuk tidak mengandung lagi. Tahun sembilanpuluhan keadaan kadang benar-benar menyiksa. Rendra yang seorang pegawai Negara secara peraturan tidak diperbolehkan untuk memiliki anak lebih dari dua orang. Asih tidak setuju karena ia masih berharap dapat melahirkan keturunan-keturunannya lagi. Peraturan pada saat itu begitu ketat sampai Asih tidak diperbolehkan pulang sebelum melakukan apa yang diperintahkan pemerintah. Asih segera membicarakannya dengan Rendra dan Rendra pun menyetujui keinginan Asih.
Hari mulai mendung ketika Asih dan Rendra merencanakan pelariannya dari rumah sakit. Asih membereskan barang-barangnya dan bayinya sementara Rendra mempersiapkan biaya administrasi yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan seorang pegawai Negara. Asih tersenyum pada bayinya yang masih belum ia beri nama, ia mengendong bayinya erat-erat menuju pintu dengan diam-diam. Asih yang masih lemah sehabis persalinan tak mempedulikan keadaannya saat itu, ia hanya berfikir agar ia tidak perlu menjalankan program pemerintah itu. Asih berjalan perlahan dengan diam-diam, dilewatinya bangsal-bangsal rumah sakit yang sedikit lembab. Dilihatnya beberapa penunggu pasien yang menatapnya dengan heran, namun tetap tak menghentikannya. Asih menuju gerbang rumah sakit dan segera naik angkutan yang ditemuinya. Tak ada taksi atau angkutan lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dengan keadaannya saat itu. Namun Asih tetap tak peduli seburuk apapun angkutan yang dinaikinya asalkan ia segera tiba di rumah. Dan hujan turun tak lama setelah Asih naik angkutan kota yang agak penuh.
Sementara Asih melancarkan pelariannya, Rendra menyelesaikan segala biaya persalinan Asih tanpa sepengetahuan kepala rumah sakit. Segera setelah pembayaran selesai, Rendra segera menuju vespa merahnya yang berada diparkiran. Rendra membunyikan vespanya dibawah kucuran hujan, seolah terbisaa dengan hujan, Rendra tetap memacu kendaraannya berusaha mengejar Asih yang berada di dalam angkutan kota. Diikutinya mobil berwarna coklat bertulisan angkutan kota yang dilihatnya seorang wanita dengan bayi dipangkuannya.
Setelah melewati belokan, Asih turun ditengah hujan yang masih agak deras. Dipayunginya bayi yang dipangkunya sambil merapat ke pinggir jalan menunggu vespa merah mengampirinya. Jalan tersebut merupakan jalan menuju rumah mereka. Vespa merah pun datang menghampiri Asih, dan segera ia menaikinya. Diterobos lah hujan yang deras untuk segera sampai ke rumah mereka. Perjuangan mereka akhirnya selesai saat sebuah rumah berwarna coklat terlihat dihadapan mereka. Rendra menghentikan motornya tepat di depan pintu. Seorang gadis kecil dan seorang anak laki-laki mebuka pintu rumah sambil tersenyum riang menyambut sang ibu dan sang adik yang baru saja lahir. Asih segera masuk kerumah itu dan merangkul kedua putra dan putrinya, sementara Rendra membereskan barang-barang yang dibawa Asih. Asih kelelahan setelah sepanjang jalan menahan rasa sakit yang belum hilang akibat melahirkan. Ia pun merebahkan diri di atas ranjang berbungkus kain berwarna hijau, dan diletakkannya bayi itu disampingnya. Asih kembali memeluk bayinya, menciuminya sampai kelelahan merenggut kesadaran Asih dan membuat Asih tertidur pulas sambil memeluk bayinya.
***
















Nabila
Hembusan angin sepoi-sepoi terasa begitu menyejukkan untuk sebuah pagi yang baru saja terbangun. Kicauan burung di tahun sembilanpuluhan menambah mesra romantika masa yang masih sarat dengan keindahan alamnya. Matahari hangat sehangat pelukan seorang ibu, tak satupun cahaya kengkuhan terpancar darinya. Gemercik air di kolam ikan menambah indah alunan nada kehidupan yang baru saja dirasakan sang bayi kecil. Aroma udara yang ramah, oksigen yang penuh serta sapaan awan yang lembut membiru bagaikan membelai bayi mungil dalam dekapan sang Khalik.
Di satu sudut ruangan bayi itu merasakan indahnya panorama cinta yang diberikan Allah. Ia tertidur lelap bagaikan terbius nikmat-Nya. Di atas empuknya kasur spring bed ibunya ia terlelap dalam balutan kehangatan. Rona wajah yang putih bersih tanpa noda terpancar jelas dari wajah bayi itu. Senyum kecil tersungging manis di bibirnya. Seolah tak pernah akan ada kepahitan yang akan dilaluinya dalam hidup.
Ryan dan Leny menatap dalam-dalam adik kecil yang baru seminggu dapat dilihatnya. Keduanya terus-menerus mengucap tasbih mengiringi nikmat yang hadir beserta kehadiran saudara perempuannya. Leny menatap Ryan seolah ingin berbagi ungkapan bahagia yang sebenarnya tak sanggup ia ucapkan. Mereka pun kembali menatap bayi yang masih terbaring dalam balutan selimun bermotif boneka beruang. Diusaplah ubun-ubun kecil yang masih lunak oleh Leny, ia bisikkan beberapa patah kata yang mengungkapkan rasa sayangnya pada bayi itu, sementara ryan masih berusaha untuk tidak menghiraukan keramaian di luar kamar ibunya yang sebenarnya mampu membuat Ryan kehilangan beberapa saat bersama adik dan kakanya Leny.
Hari itu tepat satu pekan bayi mungil itu dilahirkan ke muka bumi. Setiap muslim memanjatkan do’a dan rasa syukurnya saat mendapat keturunan dengan beraqiqah. Asih dan Rendra sedang sibuk menjamu tamu yang sebenarnya merupakan keluarga besar mereka. Satu persatu tamu yang dapang disuguhi jamuan yang beraneka ragam hingga mereka mampu merasakan rasa syukur yang dalam atas kelahiran bayi Asih dan Rendra yang ketiga. Hari itu pula mereka mengumumkan nama untuk bayi mereka.
Asih memanggil Leny yang saat itu berusia 12 tahun untuk datang ke ruang tamu sambil membawa bayi itu. Leny pun datang membawa adiknya dengan pelukan yang sangat erat seolah gemas. Ryan tak kalah perhatiannya, seolah ia tak mau sedetik pun jauh dari adik barunya. Leny dan Ryan duduk disamping ayah dan ibunya. Setelah pengajian dan do’a-do’a dipanjatkan bersama Asih dan Rendra mengumumkan nama untuk bayi mereka.
“Assalamu’alaikum, saudaraku semua. Alhamdulilah kelahiran putri kami yang ketiga merupakan berkah yang tidak terhingga yang kami miliki, setelah Leny dan Ryan. Terimakasih karena kalian telah menyempatkan waktu untuk mendo’akan putri kami. Putri kecil kami yang cantik ini kami beri nama Nabila Syafa Nurulhasanah. Semoga nama dan wajahnya secantik perangainya kelak. Semoga hatinya lembut seperti lembutnya tatapannya dan semoga langkah kakinya lincah selincah impiannya” tutur Asih panjang lebar
Rendra memeluk Asih dan mencium kening istrinya. Rasa haru dan syukur bercampur baur di dalam rumah itu. Meskipun keluarga Rendra dan Asih bukan dari keluarga yang benar-benar agamis, namun mereka tetap berusaha menanamkan dan menciptakan iklim dasar keagamaan yang harus mereka miliki.
***
Acara aqiqah berakhir sampai pukul dua siang. Beberapa saudara Asih dan Rendra telah kembali ke rumah masing-masing, hanya Diah kakak Rendra yang saat itu masih bersama Asih membantu membereskan sisa-sisa perayaan. Satu persatu piring bekas makan diambil Diah dari ruang tamu menuju dapur. Dibersihkan dan ditaruhnya piring-piring itu di lemari perabot. Di tengah kesibukannya, Diah masih saja berusaha mencuri-curi pandang kepada Asih. Entah apa yang ingin dilakukan Diah namun saat Rendra keluar dari dapur meninggalkannya dan Asih, Diah mulai mendekati Asih. Asih tetap asik dengan pekerjaannya tanpa menyadari Diah telah berada di sampingnya dan membisikkansesuatu.
“Sih, Nabila cantik sekali…” bisik Diah
“Makasih, kak. Wajar dia kan bayi perempuan” jawab Asih sambil membereskan sisa sampah di dapurnya.
“Asih, kamu tau kan, 15 tahun kakak menjalani biduk rumah tangga dengan Toni….” Lanjut Diah. Belum sempat Diah mengakhiri pembicaraannya, tatapan Asih mulai lurus dan mulai dapat memahami arah pembicaraan kakak iparnya. Diah pun melanjutkan pembicaraannya.
“Kamu punya Leny yang sudah besar dan cantik, juga Ryan yang semakin hari semakin ada saja prestasi yang dibuatnya di sekolah. Mereka harus kamu urus dan sekolahkan setinggi mungkin agar menjadi orang yang hebat, sementara penghasilan Rendra sebagai pegawai Negara sangat pas-pasan.”
“Iya, kak. Asih tau, tapi Asih yakin Allah pasti sudah menyiapkan Rizki untuk Nabila” jawab Asih sedikit khawatir dengan arah pembicaraan Diah.
“Asih, kakak dan Toni masih belum diberi keturunan. Berikanlah Nabila pada kakak, agar kakak rawat dia hingga sukses, agar kamu bisa tetap menyekolahkan Leny dan Ryan.” Jelas Diah kepada asih.
Asih sedikit bingung, gerak tubuhnya mulai tak beraturan. Ia seolah ingin memalingkan pembicaraan. Dalam hatinya ia bergumam “tidak mungkin aku memberikan Nabila putriku, sekalipun aku tidak kaya saat ini tapi aku tetap ingin merawat Nabila hingga ia dewasa”. Asih sadar bahwa Diah masih menatapnya menunggu jawaban Asih, hingga dengan nada yang pelan Asih pun menjawab.
“Maaf, kak. Sekalipun keadaanku begini, aku tetap ingin merawat Nabila hingga ia dewasa. Kalau kakak ingin menyayangi Nabila seperti anak kakak sendiri, silakan. Syangilah ia sekeinginan kakak, tapi jangan ambil dia dari aku” Jawab Asih sedikit memelas.
Diah tidak begitu saja menyerah, beberapa kali ia memaksa Asih memberikan Nabila, namun pada akhirnya Diah pun berhenti karena Asih tak mungkin melepaskan Nabila. Jarum jam telah mengarah menuju angka 4, artinya sudah sore bagi Diah dan Toni untuk kembali ke rumah mereka. Diah membereska barangnya sementara Toni mulai menyalakan mesin mobil carry miliknya. Diah dan Toni berpamitan kepad Asih dan Rendra juga ketiga anak mereka, terutama kepada Nabila bayi kecil yang sangat ingin dia pelihara. Setelah memeluk Nabila, Diahpun berjalan menuju pintu mobilnya dan pergi dengan mengucap salam.
Asih kembali membawa Nabila ke kamarnya sementara Leny dan Ryan menonton acara televise favorit mereka. Di sudut lain Rendra masih membaca beberapa berkas tugas yang dibawanya dari kantor yang belum sempat diselesaikannya. Asih membaringkan Nabila di kasurnya. Ia juga ikut berbaring di samping Nabila yang saat itu menatap Asih dengan mata kecilnya yangberkilau. Asih berbisik pada putri kecilnya, membisikkan kata-kata cinta yang sangat ia tunjukkan pada Nabila jika saja Nabila telah mampu memahaminya. Asih sungguh tak ingin memberikan Nabila pada Diah, sekalipun ia harus berjuang keras untuk mendidik dan membesarkan Nabila dalam keadaan ekonomi keluarga yang serba berkecukupan. Namun Asih tetap yakin bahwa Allah telah memberikan rizki untuknya agar dapat membesarkan Nabila hingga ia dewasa.
***

























Senyum yang Lembut
Tahun demi tahun berlalu, usia Nabila telah bertambah dengan cepat. Bayi mungil itu kini telah berusia 5 tahun dan telah bersekolah di sebuah taman kanak-kanak. Nabila tumbuh menjadi anak yang penyayang. Hati kecilnya lembut selembut kapas. Nabila begitu peka dan sensitif sekalipun ia masih sangat kecil untuk merasakan perasaan yorang dewasa. Nabila juga pemalu, ia tak suka dengan keramaian. Ia tak mau bergaul dengan anak-anak lain sebelum mereka memulai mendekati dirinya. Meski begitu, Nabila sangat ingin memiliki banyak teman, bermain dan berimajinasi layaknya anak seusianya. Saat di taman kanak-kanak, Nabila hanya memiliki 3 orang teman baik yang selalu menemaninya. Karena perasaannya yang begitu peka, Nabila kadang merasa takut jika sikapnya tidak dapat diterima teman lainnya.
Pagi tersenyum, cerah bersahabat. Aroma khas sentuhan mentari dipagi hari bagaikan menghapus keletihan setiap manusia yang terbangun dari lelapnya tidur. Udara sejuk mengalir masuk menelusup melalui fentilasi udara. Kicauan burung tak pernah lupa melengkapi romansa pagi yang selalu datang dengan penuh kesejukan.
Seorang gadis kecil berusia enam tahun sedang asik mempersiapkan perlengkapan sekolah bersama ibunya. Ibu yang usianya hamper menginjang kepala empat itu tampa telaten mempersiapkan sarapan putra-putri dan suaminya. Satu persatu piring berisi masakan diletakkannya di atas meja makan, ditatanya sedemikian rapi hingga semua isi rumah bersemangat menyambut pagi dengan ceria. Asih yang telah mengenakan baju setelan berwarna biru muda tampak begitu anggun dengan dilengkapi jilbab yang berwarna senada. Perilakunya dan pakaiannya menampakkan keanggunannya sebagai seorang istri dan ibu. Wajahnya sudah dipoleh make up tipis yang hanya menutupi kerutan ringan yang baru saja muncul di wajahnya. Pulasan bedak berwarna senada dengan kulitnya nampak cocok dipadukan dengan lipstick berwarna oranye.
Setelah pekerjaan Asih selesai. Dia bersiap mengantar putri kecilnya Nabila menuju sekolah taman kanak-kanak. Nabila memulai perjalanannya menuju sekolah dengan raut wajah sumringah. Langkah kakinya berirama bagaikan hentakan drum yang dipukul dengan penuh semangat. Asih menuntut tangan kecil Nabila dengan lembut, memastikan Nabila dalam keadaan yang aman. Sesekali Nabila menatap ibunya yang setiap hari menemaninya tanpa lelah dan tak pernah mengeluh dengan kenakalannya, walau usia ibunya kini mulai tak muda lagi. Nabila menatap ibunya dalam-dalam, yang meskipun dia tak lagi muda, ibunya nampak begitu cantik dengan balutan jilbab berwarna biru muda yang dikenakannya. Dalam gengggaman tangan ibunya Nabila menatap ibunya tanpa Asih sadari. Semakin dalam tatapan Nabila semakin ia merasa sangat menyayangi ibunya. Nabila tersenyum sederhana, menandakan betapa berartinya orang yang sedang di tatapnya. Wajahnya tampak begitu sumringah, hingga tanpa menunggu lama lagi Nabila memeluk ibunya yang sedang berjalan disampingnya. Asih pun menyambut hangat pelukan putri kecilnya.
Keindahan pagi hari bagaikan sebuah hadiah dalam hati Nabila. Gadis kecil itu begitu bersemangat tak seperti bisaanya. Gerbang tinggi dengan warna cat dasar biru muda terlihat semakin jelas. Gerbang itu tampak meriah dengan lukisan khas taman kanak-kanak yang bermacam-macam. Dilihatnya sebuah bagungan yang tidak terlalu besar, dengan halaman yang cukup luas disertai berbagai macam alat permainan yang mulai ramai dengan teriakan anak-anak. Anak-anak berseragam kotak-kotak dengan warna oranye dan kuning tampak melompat menapaki satu demi satu anak tangga majemuk. Sebagian mereka ada yang meluncur dengan cepat di atas papan seluncur. Suasana seperti inilah yang dirindukan gadis kecil berambut lurus bernama Nabila.
Nabila ditemani ibunya masuk melewati gerbang depan sekolah. Di depan kelas Nabila, ia melihat tiga orang wanita yang berusia sekitar 25 tahun sedang asik bercengkrama. Nabila berlari kecil dari ibunya menuju tiga wanita berseragam coklat muda yang berada di ujung koridor. Disapanya wanita yang tidak lain adalah gurunya dengan salam. Guru-guru muda itu menyambut sapaan Nabila dengan ramah seraya memuji kemandirian seorang anak didiknya. Nabila tidak lupa menyapa teman satu kelasnya satu-persatu. Sungguh keceriaan yang sangat membanggakan hati Asih sang ibu.
Bel masuk berbunyi, tanda anak-anak yang sedang bermain harus segera berpindah ke tempat bermain di dalam kelas. Di dalam kelas berukuran 4 kali 4 meter nabila duduk di sebuah kursi kecil berwarna pink dengan seorang anak perempuan lain bernama Rani di sampingnya. Sekeliling dinding ruangan digambari berbagai macam gambar-gambar lucu yang bisa membuat anak-anak betah berada di dalamnya, semua itu semakin bertambah menyenangkan ditemani nyanyian Bu Ella yang sangat pandai membawakan lagu anak-anak. Seisi kelas pun menjadi riang dan bersemangat untuk menemukan hal yang baru.
Sementara Nabila berada di kelas bersama teman dan gurunya, Asih berkunjung ke rumah bibinya sambil menunggu Nabila selesai sekolah. Rumah bibi Asih bernama Retno tak jauh dari sekolah, letaknya hanya sekitar 100 meter. Rento adalah adik kandung dari ibunda Asih yang sudah wafat. Sosok retno merupakan wanita berusia 70 tahun dengan tubuh yang besar dan tidak terlalu tinggi. Retno adalah wanita yang lembut dan juga sangat menyayangi Asih, apalagi setelah Retno mengetahui kemandulannya semenjak terjadi kecelakaan 40 tahun silam. Suami Retno yang bernama Setiaji telah meninggalkannya 3 tahun yang lalu karena gagal jantung. Selain Asih dan keluarganya, jarang sekali ada yang berkunjung ke rumah Retno.
Di sekolah, Nabila masih sangat asik dengan permainan baru yang diberikan Bu Tuti sang guru seni. Nabila bermain merangkai manik-manik berbentuk bunga menjadi sebuah perhiasan yang digunakan di pergelangan tangan. Satu persatu manik-manik dimasukkan ke satu helai benang karet berwarna putih. Nabila nampak antusias dan bersemangat berbeda dengan anak perempuan di sampingnya. Anak bernama Rani itu tidak sesemangat Nabila dalam menyelesaikan permainan merangkai manik-manik. Nabila pun heran dengan sikap Rani yang sejak ditemuinya pagi ini masih terlihat murung.
“Rani, kamu kenapa?” Tanya Nabila dengan suara setengah berbisik.
“Aku pusing Bil, aku mau pulang tapi ibuku sedang pergi sebentar untuk membeli sesuatu.” Jawab Rani dengan nada yang lemah.
“Ya, sudah. Sini biar aku Bantu ya!” Hibur Nabila kepada Rani.
Dengan izin Bu Tuti, Nabila membantu Rani menyelesaikan gelangnya.
Bel istirahat berbunyi, anak-anak banyak yang tidak sabar keluar kelas menuju area bermain. Sementara teman-teman mereka asik bermain dengan permainan mereka, Nabila duduk di sebuah kursi di depan kelasnya menemani Rani yang sedang menunggu ibunya. Rasa hati Nabila ingin sekali bermain dengan temannya yang lain, namun ia tidak mau meninggalkan Rani sendirian. Seorang anak perempuan bernama Resi memanggil Nabila dari atas papan selunsur. Nabila penasaran mengapa Resi menyuruhnya naik ke atas papan seluncur, hingga Nabila pun menemui Resi di atas papan seluncur.
Sementara Nabila naik ke atas papan selunsur, Rani mendekati papan seluncur untuk menemui Nabila. Tanpa sadar Resi mendorong Nabila hingga ia meluncur tak terkendali dan menabrak Rani yang berada tidak jauh dari papan seluncur. Rani terjatuh, kepalanya membentur pinggiran papan seluncur dan berdarah. Rani menangis dan seketika itu seorang guru bernama Ella membawanya menuju UKS. Sementara Rani dibawa sang guru, teman-teman Nabila yang melihat kejadian tersebut meneriaki Nabila seolah menyalahkan Nabila atas eristiwa yang terjadi pada Rani. Mereka terus-menerus menyalahkan Nabila seolah kejadian itu benar-benar karena salah Nabila.
Nabila tertegun, ia menundukkan kepalanya. Ditatapnya batu kecil yang berada dekat kakinya. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajah Nabila seolah ingin menyembunyikan air matanya. Nabila merasa tidak melakukan hal yang salah, meskipun dia merasa bersalah kepada Rani. Tak seorang guru pun yang datang menenangkan suasana hati Nabila. Saat tak sanggup mendengar cemoohan teman-tamannya, Nabila berlari ke luar gerbang. Yang ada difikirannya hanyalah ia ingin pergi dari tempat itu dan berjalan entah kemana. Nabila berjalan menuju rumah Nenek Retno yang tak jauh dari sana.
Sesampainya di rumah Nenek Retno, Nabila masuk tanpa mengucap salam yang bisaaia ucapkan saat hendak masuk rumah. Nabila hanya terdiam dan duduk di sudut ruang tamu rumah neneknya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Nabila tidak menangis, karena tidak ingin ibunya mengetahui kejadian tadi. Nabila hanya memainkan renda topi merahnya seolah menjadikannya sebagai pelampiasan.
Asih dan Nabila berpamitan pada Retno untuk pulang ke rumah mereka. Nabila masih menundukkan wajahnya dan tak henti menatap jalanan di bawahnya. Wajah sumringahnya berubah menjadi muram karena rasa khawatirnya akibat kejadian di sekolah. Nabila berjalan dengan lunglai tak bersemangat seperti saat ia pergi pagi tadi. Kerikil kecil di jalanan menjadi teman Nabila saat berjalan dengan ibunya. Satu persatu kerikil ditendangnya seolah ingin menunjukkan rasa marahnya. Terik matahari yang memaksa Nabila mengembalikan senyum cerianya bahkan tak mampu membuat apapun. Nabila kecil masih tetap memikirkan kejadian tadi berharap semoga tidak terjadi hal buruk kepada Rani. Semoga esok harinya di sekolah akan lebih menyenangkan, dan ia bisa meminta maaf dan bermain bersama lagi dengan Rani.

Gadis Pemalu
Waktu berjalan secepat kuda yang berlari. Usia Nabila semakin hari bertambah dari tahu ke tahun. Gadis kecil ceria yang pemalu itu tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan berprestasi. Tubuhnya tinggi langsing dengan rambut panjang yang agak bergelombang hingga 10 centimeter di bawah pundaknya. Matanya coklat bening dan nampak bercahaya. Wajahnya berbentuk agak oval dengan lesung pipi yang manis dan merona. Meski sedikit sering berontak, Nabila tetap menjadi seorang muslimah yang tidak pernah melepaskan kerudungnya. Usia remaja masih menjadi usia seorang anak manusia sangat labil dan emosional. Begitupun Nabila. Dia madih cepat kesal dan marah terhadap situasi yang tidak diinginkannya. Namun dia masih sangat ramah dan tidak pernah menyimpan dendam pada siapapun.
Nabila termasuk anak yang tidak banyak bergaul. Kesehariannya di pesantren lebih banyak dihabiskannya sendirian, membuat berbagai kerajinan tangan dan mengerjakan banyak hal lainnya. Ia lebih banyak menghindari percekcokan dengan temannya dengan menyendiri. Nabila belajar dengan tekun, prestasi yang diukirnya selalu bisa membuat orangtuanya bangga. Tak ada hal lain yang difikirkan Nabila selain belajar. Bahkan hingga Nabila duduk di kelas tiga, Nabila tidak pernah memikirkan tentang seorang pacar. Bagi Nabila, dia baru akan memiliki seorang kekasih saat hatinya benar-benar mantap untuk menjalin sebuah hubungan. Bagi Nabila sebuah hubungan tidak boleh didasari atas dasar main-main. Itulah sebabnya meskipun banyak teman laki-laki yang menyukainya Nabila tetap tidak menghiraukan salah satu pun dari mereka.
Terlepas dari berbagai hal yang ia tuju, Nabila diam-diam menyimpan perasaan kepada salah satu teman sekelasnya bernama Arif. Arif dimata Nabila adalah sosok seorang anak laki-laki yang dewasa dibalik usianya yang masih 16 tahun. Arif anak yang banyak paham dalam mata pelajaran agama, ia pun cukup berprestasi di sekolah dengan meraih peringkat pertama setiap tahunnya. Tutur kata Arif sopan dan dia pun ramah. Itulah yang membuat Nabila semakin menyukai Arif. Tidak ada satupun yang mengetahui perasaan Nabila. Nabila hanya menyimpannya sendiri sampai tak ada satu orang pun yang tau, bahkan setelah tiga tahun Nabila mengaguminya.
Pagi di bulan Mei menjadi awal bagi perasaan Nabila terhadap Arif diketahui orang lain. Meri teman Nabila sejak kecil yang juga duduk satu kelas dengannya tiba-tiba membuka catatan harian Nabila. Meri menertawakan Nabila awalnya, namun kemudian Meri membuat Nabila pelan-pelan mengakui dan menceritakan semuanya tentang Arif, hingga akhirnya Nabila menceritakan tanpa ia tutupi sedikitpun. Meri melihat rona mata yang ceria saat Nabila menceritakan Arif dan hal itu membuat Meri semakin penasaran terhadap perasaan Nabila.
Meri memperhatikan setiap tutur kata yang diucapkan Nabila. Setiap detil yang ia dengar ia resapi dengan baik. Entah apa yang Meri akan lakukan dengan semua itu. Meri seolah ingin mengetahui banyak hal yang sebenarnya sangat tidak perlu diketahuinya. Sedikit-sedikit Meri mengorek informasi tentang Arif di mata Nabila. Meri tersenyum lebar, perlahan tertawa terbahak-bahak sambil membelalakan matanya. Saking tak kuasa menahan tawanya, Meri memukul-mukulkan tangannya ke meja seolah ia benar-benar mendengar hal yang lucu.
Jam istirahat tiba, para santri pondok pesantren daarul Ulum merapikan buku-buku mereka masing-masing, bersiap menuju kantin dan tempat istirahat lain. Sebagian santri pergi ke kantin dan menyantap hidangan yang tersedia. Sebagian lain ada yang asik bermain bola basket dan bola sepak, ada yang sibuk menghapal hadits dan ayat-ayat dan sebagian lagi ada yang duduk dan bercengkrama dengan kawan-kawannya yang lain. Suasana istirahat di Pesantren darul ulum begitu ramai, suara anak-anak yang mengobrol terdengar bergemuruh seperti di pasar.
Cahaya matahari menyinari ujung serambi masjid yang baru saja dip el oleh penjaga sekolah. Disana sekelompok anak perempuan sedang asik mengobrol tanpa menghiraukan keramaian disekitanya. Diantara lima orang anak perempuan itu terdapat Meri dan beberapa anak lainnya. Meri terlihat asik menceritakan sesuatu yang baru didengarnya. Nabila menjadi topic utama pembicaraan Meri. Semula Meri memang telah berjanji pada Nabila untuk tidak mengatakan apapun pada siapapun. Tetapi saat itu Meri menceritakan semuanya satu-persatu kepada teman-temannya termasuk Rindi, teman dekatnya Arif. Mereka tertawa terutama Meri yang masih saja asik mengumbar cerita Nabila.
Beranda depan kelas menjadi tempat favorit Nabila menghabiskan kesendiriannya. Dia tidak banyak berkumpul dengan teman karena tidak suka pembicaraan teman-temannya yang banyak membicarakan orang lain. Nabila berdiri membaca Novel kesukaannya tanpa mengetahui bahwa Meri sedang membicarakan seluruh rahasia yang selama ini Nabila simpan kepada teman-temannya.
***
Koridor gedung pesantren nampak lengang ditinggalkan para santrinya. Para santri duduk diantara kursi-kursi dan meja di dalam ruangan kelas mereka. Bersungguh-sungguh mempelajari satu persatu Hadits Rasul yang dibahas oleh seorang ustadz. Ustadz Ali membacakan hadits tersebut dengan fasih, setiap kata diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pas. Tidak hanya itu, ustadz Ali memaparkan intisari hadits dengan cara yang segar dan menyenangkan. Hingga setiap santri dapat meresapi makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan seksama.
Koridor gedung kembali ramai, tanda waktu pulang telah tiba. Setiap santri berjalan menuju gerbang menuju rumah mereka masing masing. Nabila berjalan sendiri dengan novel ditangannya berjalan sedikit merapat ke dinding gedung yang agak lembab. Di belakang Nabila ada dua orang anak perempuan mengikuti Nabila. Kedua anak itu memanggil Nabila dengan semangat.
“Nabila!” sahut Meri.
“iya, ada apa Mer?” jawab Nabila.
“eh, Bil. Kamu suka ya sama Arif?” singgung Rindi.
“Apa?” Jawab Nabila dengan nada terkejut.
“Iya, Bil. Aku tau kok, kamu suka kan sama Arif? Aku salamin ya.” Lanjut Rindi.
Dari ujung koridor kelas 2 terlihat seorang anak laki-laki bertubuh tinggi agak kurus sedang berjalan sendirian dengan tas punggung berwarna hitam. Rindi memanggil anak laki-laki itu.
“Arif!” teriak Rindi.
“Iya?” jawab Arif dengan sederhana.
Rif, ada yang suka sama kamu. Kamu dapat salam dari Nabila.” Ujar Rindi sedikit menertawakan.
Nabila tercengang mendengar ucapan Rindi. Nabila masih terheran-heran dengan sikap Meri yang menyebarkan curahan hatinya pada orang lain, apa lagi Rindi. Nabila terpaku melihat Arif berjalan meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Nabila terdiam saat melihat Meri dan Rindi berlari meninggalkannya sambil menertawakannya. Nabila berfikir, apa yang lucu dari perasaannya seolah perasaan ia kepada Arif seperti sebuah lelucon. Nabila tetap tenang walau hatinya kesal dan ingin marah, dia melanjutkan langkahnya menuju ke luar gedung dengan langkah kaki yang lebih lamban.
Dalam hendakan langkahnya Nabila terpaku sejenak, menunduk dan merasakan perasaan kecewanya dalam-dalam. Dia ingin menghabiskan perasaan kesalnya sendiri hingga sesampainya di rumah semua perasaan itu sudah tidak ada lagi. Wajahnya menengadah, matanya terbelalak melihat ke sekitar gedung sekolahnya. Dari kejauhan ia melihat tempat yang ia anggap cukup tenang untuk menenangkan hatinya. Nabila melangkahkan kakinya menuju ujung sebuah koridor yang berada di lantai dua gedung Aliyah atau sekolah setara SMA. Santri Aliyah kela dua hari itu memang tidak belajar di ruangan mereka karena pihak sekolah sedang mengadakan kunjungan akademik khusus untuk tingkat 2 Aliyah. Oleh sebab itulah Nabila berfikir tempat itu cocok untuk ia menyendiri.
Dilewatinya koridor lantai dasar gedung Aliyah yang sedikit pengap dan kurang terkena cahaya. Gedung Aliyah memang terkesan lebih dingin disbanding gedung tsanawiyah karena letaknya yang berada di belakang gedung tsanawiyah. Nabila berjalan sedikit cepat melewati ruang kelas 3 Aliyah yang masih terisi penuh oleh para santriwan dan santriwati yang sedang belajar. Nabila menaiki puluhan anak tangga menuju lantai dua gedung Aliyah dengan tergesa-gesa. Dihadapannya terlihat beberapa ruang kelas yang kosong tanpa kegiatan belajar. Nabila tersenyum menatap ujung koridor yang sudah dekat dengan tempat ia berdiri saat itu. Nabila bergegas menuju ujung koridor yang ia tuju, koridor yang berada tepat di depan kelas XII e.
Sesampainya di koridor itu, Nabila mengeluarkan sebuah benda berbentuk buku dengan sampul berwarna biru muda. Dibukanya lembar demi lembar halaman buku bagaikan mencari satu halaman yang hendak dibacanya. Nabila membaca kitab sucinya dengan suara yang merdu. Lantunan obat penenang itu mengalun lembut dari bibir Nabila. Air mata Nabila terurai saat mengingat kekesalannya dan saat lantunan ayat itu menghantarkannya menemui sang Khalik dan membantunya untuk mengadu pada sang Khalik. Satu jam berlalu sejak Nabila melantunkan ayat suci al-Quran. Hatinya mulai tenang, air matanya mulai surut tanda hatinya telah selesai berkeluh kesah pada Tuhannya. Nabila ingin pulang karena khawatir orangtuanya akan mencari.
Nabila remaja yang tegar menghadapi kekesalan pada dirinya meski terkadang ia tak sanggup menahannya, ia tetap berusaha melampiaskan kekesalannya pada suatu yang lain, bukan manusia. Setelah ia melampiaskan amarahnya, Nabila tak pernah dendam dan keadaannya bisa kembali pulih seperti semula saat belum terjadi masalah. Nabila adalah seorang gadis remaja yang sulit untuk menceritakan permasalahannya, ia hanya menyimpannya dan berusaha memecahkan masalahnya dengan caranya sendiri. Walau terkadang segalanya terasa sangat berat untuknya, namun Nabila tak pernah menyerah. Dia tak bernah berfikir buruk terhadap apapun termasuk yang membuatnya terluka dan kecewa. Dia pun tak pernah berputus asa terhadap sesuatu walau ia harus mengalami banyak kegagalan yang menyakitkan. Karena ia tetap yakin bahwa Allah selalui memiliki rencana terbaik untuknya. Seuntai kalimat lahir dari bisikan hati Nabila, kalimat penyemangat yang menguatkan kekuatan hatinya menghadapi segalanya. Kalimat itu ia tuliskan dalam sebuah buku harian kecil berwarna pink.

“Ketika harapan masih menyala di Hati mu, Kau bagaikan bara api yang takkan pernah padam walau diterpa angina kecang”
-          Nabila –
***








Awal Sebuah Akhir
            Akhir semester telah tiba. Nabila hendak menghadapi Ujian kelulusan tahun ini dan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Bertahun perasaan Nabila terhadap Arif dipendamnya meskipun pada dasarnya Arif telah mengetahui perasannya, Nabila ingin menghapus perasaannya sendiri setelah tau hubungan Rindi dengan Arif. Dilemma yang dirasakan remaja seusia Nabila terhadap perasaannya cukup mampu menyita konsentrasinya. Akhir masa sekolah di tsanawiyah rupanya merupakan saat yang telah lama dinantinya. Nabila ingin memulai babak baru dalam hidupnya, menyegarkan ingatannya dengan segala hal baru yang pasti akan di dapatkannya dalam perjalanan yang baru.
   Hari itu adalah hari terakhir pelaksanaan ujian akhir di seluruh sekolah menengan tingkat pertama, termasuk sekolah Nabila. Ketegangan Nabila menghadapi ujian kelulusan telah berlalu dan berganti dengan ketegangan menghadapi hasil ujian yang akan diumumkan satu bulan kedepan. Kesibukan Nabila menghadapi masa-masa ujiannya telah membantunya melupakan sosok Arif yang selama tiga tahun dikaguminya. Nabila berhasil melupakan sosok Arif dari hatinya dengan segala usaha yang telah dilakukannya. Nabila tak mau lagi berharap pada Arif yang nyatanya lebih menyukai Rindi. Akhir sekolah pun akhirnya dapat membuka babak baru dalam hidupnya seperti yang diharapkannya selama ini.
Nabila sedang berjalan menyusuri koridor gedung tsanawiyah menuju tangga yang akan membawanya menuju lantai dasar. Nabila hendak pulang tanpa ditemani satu orang pun. Ketika nabila melewati koridor kelas III d, dilihatnya enam orang anak laki-laki yang tidak pernah dikenalnya sedang berkumpul. Anak laki-laki yang dilihatnya adalah santri kelas III d yang baru saja menyelesaikan ujian mereka. Mereka menghabiskan sisa waktu mereka setelah menyelesaikan ujian dengan becengkrama bersama. Seorang anak laki-laki bertubuh gempal tertawa ternahak-bahak seolah sedang melepaskan beban yang selama ini bertumpuk dipundaknya. Anak yang lain ikut tertawa bersama ketika anak laki-laki bertubuh gempal itu mengucapkan sebuah lelucon yang mereka anggap lucu.
Ketika sekelompok anak laki-laki itu masih asik tertawa, Nabila lewat di antara mereka dengan kepala menunduk. Salah satu anak laki-laki itu memanggil nama Nabila. Anak laki-laki bertubuh gempal yang memanggil Nabila memang telah mengenalnya sejak lama, demikian pula dengan Nabila suara anak bertubuh gempal itu tidak asing ditelinganya. Nabila pun menjawab panggilan anak itu.
“Iya. Ada apa Ridwan?” Tanya nabila.
“Kamu sendirian aja?” sahut Ridwan alik bertanya.
“Iya. Kenapa gitu?” Tanya Nabila, sedikit heran.
“Oh, ini, Bil. Ada salam buat kamu.” Lanjut Ridwan.
“Dari siapa?” Tanya Nabila, semakin heran.
“Nih, dari Hilmy.” Ridwan menunjuk seorang anak laki-laki bertubuh tinggi agak bungkuk yang berkulit putih yang sedang duduk di sampingnya.
Hilmy adalah anak seorang pemilik yayasan tempat Nabila bersekolah. Ayah Hilmy juga seorang pengashu di pondok pesantren itu. Meski demikian, Hilmy tidak pernah sombong atau bersikap angkuh pada teman-temannya. Anak berwajah manis itu selalu memperlakukan temannya secara sama. Mesi Hilmy anak seorang pemilik yayasan, ini tidak berarti Hilmy menaati seluruh peraturan sekolah meski ia termasuk anak yang berprestasi. Hilmy sering pergi berkumpul dengan teman perempuan sekelasnya. Sementara peraturan di seklah melarang anak laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk berkumpul. Namun Nabila sama sekali tidak pernah tau kenakalan anak-anak lain diluar kelasnya, kelas III a dan Nabila pun sama sekali tidak mengenal Hilmy yang anak pemilik yayasan.
Waktu berjalan lambat, penantian seluruh santri kelas tiga terhadap hasil ujian akhir mereka menjadi saat-saat yang mendebarkan bagi mereka. Satu minggu setelah pelaksanaan ujian itu bisaanya pesantren membebaskan para santrinya agar melepaskan beban yang mereka pikul selama menghadapi ujian. Setiap santri terbebas dari kewajiban untuk belajar di kelas selama satu minggu meski mereka harus tetap dating ke sekolah. Para santri berkumpul menceritakan pengalaman masing-masing saat menghadapi ujian akhir. Mulai dari pengalaman yang menyenangkan, hingga pengalaman yang dirasakan mereka cukup menyebalkan.
Di sebuah kantin berkumpul lima orang anak perempuan yang menggunakan jilbab yang cukup panjang menutupi dada.  Dua orang dari anak perempuan itu memakai kaca mata dengan badan yang tidak terlalu kurus. Dua orang lain berbadan agak gemuk. Mereka adalah Meri, Rindi, Nabila, serta Lusi dan Nindi. Selain Nabila, empat anak lain lebih sering berkumpul bersama dibandingkan dengan kebisaaan Nabila yang lebih banyak menyendiri. Mereka berkumpul melepas beban yang mereka pikul ketika menghadapi minggu-minggu sebelum ujian. Beberapa anak ada yang tertekan akibat tegang menghadapi ujian, termasuk Meri. Meri menceritakan perasaan tertekannya saat menghadapi ujian. Meri meyakinkan anak-anak yang lain bahwa soal ujian yang disodorkan pihak penyelenggara benar-benar tidak sesuai dengan yang selama ini disampaikan di kelas. Meski Meri beralasan demikian, namun anak-anak yang lain sadar bahwa soal yang mereka terima memang tidak keluar dari materi yang telah diberikan.
Nabila angkat bicara saat yang lain mulai diam. Nabila menceritakan kekesalan yang ia rasakan saat hari pertama ujian akhir. satu minggu menjelang ujian Nabila pergi ke Bogor menjenguk neneknya yang sedang sakit keras, hingga saat ujian tiba Nabila belum mendapatkan jadwal ujian. Satu hari sebelum ujian Nabila mencari informasi kebeberapa temannya tentang jadwal penyelenggaraan ujian yang pertama. Nabila mengirim pesan yang salah satu pesan elektronik itu dikirim kepada Meri melalui sms. Nabila mendapat jawaban tentang jadwal ujian yang pertama dari Meri. Saat itu Meri memberitahukan dengan permberitaan yang tidak pasti. Meri mengatakan seolah ia tidak pernah melihat jadwal ujiannya sama sekali. Nabila yang masih lelah sepulang dari Bogor, memutuskan untuk menelpon Meri.
“assalamu’alaikum, Mer!” Sapa Nabila di telpon.
“Iya, Bil. Ada apa?” Tanya Meri dengan nada ramah.
“Mer, maaf. Jadwal ujian besok mata pelajaran apa ya? Aku belum sempet belajar.” Jawab Nabila sedikit memohon.
“Emmh… aku kurang tau, Bil. Kata teman-teman ada yang bilang Matematika tapi ada juga yang bilang Bahasa Indonesia.” Jawab Meri terbata-bata seolah ingin menyembunyikan sesuatu.
“Oh, gitu ya Mer? Makasih ya. Assalamu’alaikum” lanjut Nabila dengan perasaan bingung.
“Wa’alaikum salam”
Pembicaraan pada malam senin itu pun berakhir dengan perasaan kecewa karena Nabila tidak mendapat kepastian mengenai ujian esok harinya. Nabila termenung. Tubuhnya masih sangat lelah setelah perjalanan Bogor- Bandung. Fikirannya sama sekali tidak focus meski ia berusaha untuk belajar kedua mata pelajaran yang diberitahukan Meri. Usaha Nabila sia-sia saat mendengar berita tentang adik sepupunya yang terjatuh dari tangga rumahnya. Anak berusia 3 tahun itu terjatuh dari lantai dua rumahnya dan berguling menuruni tangga. Nabila membayangkan betapa sakitnya tubuh kecil Zizah yang berguling pada tengga besi halaman belakang rumahnya. Konsentrasi Nabila untuk berlajar pun pudar. Ia dan keluarganya segera membawa Zizah menuju rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Tepat pukul 12 malam Nabila dan keluarganya pulang untuk beristirahat, apalagi Rendra sang ayah menyuruh Nabila untuk istirahat karena esok hari Nabila harus menghadapi ujian hari pertama. Tubuh nabila semakin lelah. Ia merebahkan diri di atas kasur spring bednya dengan tangan telantang. Selesai sholat Nabila berusaha untuk membaca beberapa halaman buku peajaran matematika dan bahasa Indonesia. Namun lagi-lagi kelelahan merenggutkonsentrasinya. Nabila tertidur di atas tempat tidurnya dengan berbantalkan Buku Pelajaran Matematika yang sama sekali belum sempat dibacanya. Kelelahan akhirnya menghantarkan Nabila menuju alam tidurnya. Membimbingnya menuju sebuah istirahat yang akan berakhir di esok pagi. Nabila pun tertidur lelap tanpa berfikir tentang ujian sedikitpun.
Senin pagi saat ujian hendak di mulai, Nabila dating lebih awal untuk memastikan mata pelajaran yang di ujikan hari itu. Belum sempat ia mencari Jadwal, Rindi dating memasuki ruang ujian. Nabila bertanya mengenai mata pelajaran yang diujikan hari itu dan Rindi memberitahu bahwa mata pelajaran hari itu adalah Bahasa Inggris. Nabila pun kaget bukan main mendengar jawaban Rindi. Nabila Kesal pada Meri yang ternyata malah membohonginya. Untuk kesekian kalinya Meri berbuat curang kepada Nabila. Namun apa yang bisa dilakukan Nabila selain tetap mengikuti ujian dan berharap Allah akan memberikannya kemudahan meskipun ia sama sekali belum sempat belajar bahasa Inggris.
Nabila masih berkumpul di kantin dengan empat orang temannya. Giliran nabila menceritakan cerita kurang menyenangkannya saat sebelum ujian. Dalam perkumpulan di kantin pagi itu, Nabila menceritakan betapa kesalnya ia saat Meri memberikan informasi yang salah. Meri beralasan macam-macam seolah tidak ingin disalahkan. Tapi Nabila pun tidak memberitahukan perbuatan Meri pada yang lainnya. Ia masih tetap berharap semoga ia bisa lulus mata pelajaran Bahasa Inggris meskipun pada saat ujian ia tidak sempat belajar. Nabila memang sama sekali tidak mengerti dengan sikap Meri. Nabila sosok yang mudah percaya pada orang lain apalagi Meri, teman yang ia kenal sejak ia kecil. Meri adalah teman Nabila sejak duduk di taman kanak-kanak. Meski demikian ternyata tidak menjamin Meri dapat berteman baik dengannya. Terlebih lagi Nabila tidak pernah memiliki rasa dendam terhadap orang lain, sekesal apapun ia pada orang lain tak akan pernah membuatnya membalas atau memusuhi orang tersebut. Nabila percaya suatu hari Allah akan menunjukkan keadilan untuknya dan Allah akan memberikan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Nabila tidak ingin memiliki satu orang musuh pun dalam hidupnya sehingga Nabila selalu memaafkan perbuatan Meri yang sering diam-diam menjelek-jelekannya di depan teman-temannya dan Nabila sebenarnya tidak pernah menyadari niat buruk Meri kepada dirinya.
Nabila bergegas dengan langkah tegas melangkah menuju kedung tsanawiyah. Hari itu pengumuman kelulusan Ujian Negara akan dipampang dimading sekolah. Ratusan anak seusia Nabila berdebar-debar menantikan pengumuman yang sudah sejak satu bulan lalu mereka tunggu. Jantung Nabila tak kalah berdebar. Detaknya terasa sangat hebat hingga terasa sedikit perih di dadanya. Nafasnya sesak terengah-engah seiring langkah kakinya yang semakin cepat memburu pengumuman kelulusan. Pikirannya hanya terfokus pada hasil yang akan dilihatnya kurang dari 2 jam kedepan.
Pintu gerbang pesantren sudah tampak di depan mata Nabila. Langkahnya semakin terasa berat hingga gedung pesantren terlihat seperti menjauh dan semakin menjauh. Di sekitar masjid terlihat sekumpulan santri berseragam putih dan rok merah bermotif kotak sedang bergumul menanti staff penjaga sekolah memasang lembaran demi lembaran deret nama peserta ujian yang lulus. Santriwati berkerudung putih bersih menunggu dengan penuh ketegangan, menyaksikan satu persatu perlengkapan mading di bawa dan dibereskan oleh staff  penjaga sekolah. Staff penjaga sekolan memajang lembar demi lembar kertas bertulisan deret nama dan keterangan kelulusan santri di sekolah Nabila. Nabila memburu lembaran tersebut mencari namanya diantara deret nama teman-temannya. Di ujung lembaran kertas keempat, tertulis sebuah Tulisan Nabila Safa dengan predikat “lulus”. Nabila senang bukan kepalang saat tau dirinya lulus dengan hasil usahanya sendiri. Nabila bangga pada didirnya dan bersyukur kehadirat Allah yang selalu menyertainya disetiap langkahnya. Nabila ingin bergegas menyampaikan kabar ini kepada kedua orang tuanya. Tanpa banyak berfikir, Nabila menuju gerbang sekolah dan berbalik arah.

biar matahari memalu melihat romantika cinta insan di muka bumi, biar bulan cemburu merasakan kerinduan yang dirasakan makhlukNya..
sungguh nikmat yang tiada tara ketika setiap makhluk dapat mencintai dan dicintai. sungguh luar bisaa saat seorang ibu memperlihatkan kebesaran cinta Tuhannya pada keturunannya.....