Pertanggungjawaban Pidana

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

A.  Pengertian
Yang dimaksud dengan pertanggung jawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakuakan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Sebagai salah satu unsur dalam terjadinya jarimah, yaitu sebagai unsur moril, pertanggungjawaban pidana harus meliputi tiga hal:
  1. Terdapatnya perbuatan yang dilarang
  2. Adanya kebebasan  dalam berbuat atau tidak berbuat.
  3. Kesadaran bahwa perbuatan itu merupakan akibat tertentu.
Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat  secara langsung  mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.[1]
Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan  terciptanya ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggungjawab pidana,dipikulkan  kepada pembuat jarimah untuk terciptanya tujuan tadi.
Untuk terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus:
1.      Memaksa seseorang  untuk tidak melakukan ulang perbuatannya.
2.      Menghalangi keinginan manusia untuk melakukan hal serupa, karena bayangan yang ditimbulkan atas hasil perbuatannya akan diterimanya sebagai sesuatu yang sangat merugikan dirinya.
3.      Sanksi yang diterima pembuat jarimah  harus pula bersesuaian dengan hasil perbuatannya.
4.       Sanksi hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukan serajat manusia.
5.      Hukuman  harus diterima jarimah, tidak diberati dan tidak  memberati, selain pembuat jarimah karena adanya pertalian geneokologis, kekeluarga.

Besar kecilnya hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri pembuat tindak pidana.[2]

B.     Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggung jawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syarat. Selain itu, perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori mubah atau tidak dilarang melakukannya. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada didalam dirinya.[3] Mengenai jenis yang pertama, yaitu terhapusnya hukuman Karena perbuatan itu sendiri, diantaranya:
a.      Pembelaan Yang Sah
 Dalam islam pembelaan yang sah terbagi kedalam dua bagian:
·         Apa yang disebut dengan pembelaan yang bersifat khusus dan diistilahkan dengan daf’ush sha’il atau menolah penyerang.
·         Pembelaan yang bersifat umum, yang dalam istilah popular disebut sebagai amar ma’ruf nahyi munkar.
Pembelaan khusus adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan atau menjaga diri atau nyawa, harta miliknya atau milik orang lain, dengan memakai tenaganya  dari setiap serangan yang datang. Sumber hukumnya QS. A-l baqarah ayat 194:
4 Ç`yJsù 3ytGôã$# öNä3øn=tæ (#rßtFôã$$sù Ïmøn=tã È@÷VÏJÎ/ $tB 3ytGôã$# öNä3øn=tæ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÒÍÈ
Artinya:
Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah  dia dengan deimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kamu, seseungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah:194)
          Seseorang yang melakuakan pembelaan yang sah , harus memenuhi persyaratan, yaitu adanya upaya  tindakan melawan hukum (perbuatan sipenyerang), perlawanan si terserang dilakukan seketika, tiada pilihan lain, dan penyerangan pun dilakukan dengan seimbang, artinya sesuai dengan kekuatan si penyerang.
Adapun yang dimaksud dengan pembelaan umu, adalah suatu pembelaan untuk kepentingan umum, seperti yang telah disebutkan yaitu dengan amar ma;ruf nahyi munkar.
         Dalam Al-Quran  upaya in disebut sebagai suatu kewajiban bagi umat islam, dapat dilihat dalam surat Ali-Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.Ali-Imran:104)

 Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Batas antara pembelaan umum dan khusus sangatlah tipis. Sebagaimana yangtelah kita ketahui bahwa yang namanya pembelaan khusus adalah menolak serangan yang datang dengan objek keselamatan diri atau orang lain, harta benda ,dan kehormatan. Adapun objek pembelaan  yang umum,sesuai namanya ditujukan untuk kepentingan umum, keamanan, ketertiban, dan lain-lain.
Perbedaan lain dari kedua istilah tersebut adalah pada pembelaan khusus, penolakan hanya terjadi pada waktu adanya serangan terhadap dirinya atau orang lain, sedangkan pembelaan umum, penolakan itu terjadi walaupun tidak ada serangan sebab intinya adalah mencegah manusia berbuat suatu maksiat ataupun sesuatu yang dilarang.

b.      Pengajaran
-          Pengajaran Terhadap Istri
Sesuai dengan kodratnya, suami diberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada istrinya, yaitu sebagai pemimpin rumah tangga.  Sebagai imbalan dari kewajibannya ( suami), laki-laki mempunyai hak untuk memberikan hukuman kepada istrinya apabila si istri tidak menaati perintahnya.
Dalam hal pemberian hukum itu, suami tidak boleh melakukan pemberian hukuman fisik kepada istrinya, melainkan memberinya pengajaran untuk mencegah timbulnya kemaksiatan dimasa yang akan datang.
Adapun usaha yang dilakukannya adalah sesuai dengan apa yang telah digambarkan dalam surat An-Nisa. Yaitu pertama harus dahulu diberi nasihat. Selanjutnya apabila istri mengulangi, dilakukan tindakan “dirumahkan” ditempat tidurnya, dan bila tidak berhasil, ia berhak memukul istrinya.
Adapun mengenai wilayah pemukulan dan cara pemukulan, para ulama menyepakatinya, seperti halnya hukuman jilid. Pemukulan tidak diarahkan kea rah muka (kepala) dan daerah yang sensitive seperti farji dan dada. Dan dalam pemukulan itu harus dihindarkan dari timbulnya noda yang sulit dihilangkan, mengeluarkan darah, mematahkan tulang, dan sebagainya.
Namun apabila perbuatan yang dilakukan suami tiu melampaui batas maka dia bisa dipinta pertanggung jawabannya.

-          Pengajaran terhadap Anak
Seperti halnya suami pada istri, seorang ayah juga dapat melakukan tindakan hokum terhadap anaknya. Hak yang sama juga diberikan kepada guru, pelatih, dan orang yang diberi wasiat dan orang yang menjadi wali anak tersebut. Mereka semua diberi kewenangan untuk memberikan pengajaran dan apabila pemukulan itu melampaui batas, maka tetap hal itu bisa dipinta pertanggung jawabannya.

c.       Pengobatan
Seorang dokter dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana akibat hasil pengobatan tersebut apabila memenuhi syarat:
v   Dia benar-benar sebagai Dokter.
v   Pengobatan dilakukan semata-mata atas dorongan atau niat baik.
v   Tindak pengobatan yang dilakuakn sesuai aturan atau disiplin ilmu kedokteran           dan kode etiknya.
v  Disetujui si sakit atau orang yang mewakilinya.
Namun apabila dokter tersebut menyalahi farmakologis dan etika kedokteran dalam menangani penderita dan kemumdian terjadi sesuatu pada pasiennya, ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

d.      Olahraga
Olahraga dan permainan yang berkaitan denga pembinaan fisik lainnya sangat dianjurkan oleh islam. Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi  kesehatan tubuh.
Pada olahraga kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat besar, terutama pada cabang olahraga yang memerlukan stamina luar biasa serta memerlukan kekuatan fisik dan adu kekuatan. Namun kecelakan tersebut dapat dihindari jika para pemain mengikuti aturan yangtelah disepakati. Dan kecelakaan dalan olahraga adalah suatu kewajaran, dan hal itu tidak dikenai pertanggungjawaban pidana. Namun, kecelakaan yang ditimbulkan akibat ke sengajaan atau kecurangan untuk mencelakakan lawan, dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

e.       Hilangnya Jaminan Keselamatan
Hilangnya jaminan keselamatan adalah hilangnya jaminan keselamatan jiwa dan harta sehingga diperbolehkan mengambil tindakan terhadap jiwa, anggota badan atau harta bendanya. Jaminan keselamatan itu sendiri sebelumnya melekat pada seseorang, namun karena perbuatan yang dilakukannya jaminan keselamatan jiwa dan harta hilang.
Mereka yang dikateggorikan sebagai  telah kehilangan jaminan keselamatan jiwa atau hartanya adalah:
v  Kafir Harbi, mereka yang tidak memeluk islam dan berdomisili di negeri  lawan        ataupun berdomisili dinegerinya sendiri, namun  tidak mempunyai perjanjian keamanan bukan musta’min.
v  Pelaku jarimah riddah atau keluar dari islam menuju agama lain, pelakunya disebut murtad.
v  Pelaku perzinaan yang telah atau dalam keadaan menikah atau pezina muhsan.
v  Pelaku jarimah hirabah, pengganggu keamanan dijalan.
v  Pelaku maker, melawan pmerintah yang sah atau disebut jarimah al-baghyu dan pelakunya disebut bughat.
v  Pelaku perbuatan dikenai hukuman qishash.
v  Pelaku jarimah  pencurian yang terkena hukuman had.
Oleh karna itu, kalau seorang muslim membunuh orang-orang tersebut, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku jarimah qiashas sebab mereka tidak mempunyai jaminan atas jiwanya.

f.        Karena Perintah Jabatan
Yang dimaksud dengan karena perintah jabatan adalah perbuatan yang dilakuakan merupakan bagian dari kewajiban dalam pekerjaannya atau merupakan wewenangnya. Dan oleh karna itu bagi mereka tidak ada pertanggungjawaban pidana.
Syariat islam telah meletakkan beban kepada penguasa untuk melaksanakan kewajibannya demi terciptanya ketertiban umum. Mereka yang melaksanakannya  adalah petugas yang berwenang. Melaksanakannya sesuai dengan tingkatan kewenangan yang dimilikinya. Oleh karna itu, mereka tidak dibebani pertanggungjawaban pidana apabila melaksanakan sesuai dengan wewenang nya. Contohnya hakim dan algojo. Adapun mengenai terhapusnya pertanggungjawaban pidana atau terhapusnya hokum karena berkaitan dengan kondisi pelaku terdapat dalam empat keadaan:
-  karena paksaan
Untuk menghindari seseorang dari pertanggung jawaban pidana yang berkaitan dengan paksaan ini, paksaan itu haru memenuhi criteria:
a. Paksaan tersebut merupakan ancaman berat
b. Ancaman tersebut merupakan perintah yang segera atau hampir segera, manakala
         orang dipaksa tidak melakukan kehendaknya, ancaman itu pasti akan jatuh
c. Orang yang memaksa itu dipercaya dapat melaksanakan ancamannya.
d. Ancaman itu akan benar-benar terjadi manakala dia menolak. Sehingga ia tidak     dapat terhindar.
-  karena gila
-  karena mabuk
-  karena belum dewasa
Ketiga hal tersebut menghapus pertangguingjawaban pidana, seperti dalam hadist nabi:
Kalam diangkat dari tiga kelompok, anak-anak hingga baligh, orang yang tertidur sampai bangun, dan orang gila sampai sadar (sembuh).”

C.    Pembatalan Hukuman
Beberapa hal yang dapat membatalkan hukum:
  1. meninggalnya sipembuat jarimah.
  2. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.
  3. Bertobat.
  4. Korban dan wali/ahli waris, memaafkannya atau ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak perseorangan.
  5. Adanya upaya damai antara pelaku denga korban atau wali/ahli waristnya dalam kasus jarimah qishash/diyat.
  6. Lewatnya waktu tertentu dalam pelaksanaan hukuman.[4]




















DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Rahmat. 2000.Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung : CV. Pustaka Setia.










[1]  Lihat Drs.H. Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam),2000. hal 175
[2] Ibid. hal. 177
[3] Ibid .hal. 177
[4] Lihat Drs.H.Rahmat Hakim (Fiqih Jinayah) . hal. 192